Sabtu 02 Nov 2013 23:29 WIB

Putusan MK Soal Lembaga Zakat Diapresiasi Baik

Rep: Hannan Putra/ Red: Dewi Mardiani
Sejumlah seniman Betawi bersama lembaga amil zakat Dompet Dhuafa berkampanye mengenai zakat di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta.
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Sejumlah seniman Betawi bersama lembaga amil zakat Dompet Dhuafa berkampanye mengenai zakat di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gugatan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai merupakan sesuatu yang positif. Dengan disahkannya undang-undang tersebut diharapkan pengelolaan zakat di tanah air bisa lebih maksimal dan dikelola lebih profesional.

Pengamat Ekonomi Syariah Adi Warman mengatakan, sebenarnya putusan MK tersebut menyerap aspirasi dari tokoh-tokoh di Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sempat mewacanakan itu di DPR. Menurut Adi, sebelumnya perhimpunan Koalisi Masyarakat Zakat Indonesia (Komaz) telah mengajukan draft usulan dalam Rancangan Undang-Undang di Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPR RI. Namun daftar isian mereka tidak dipakai, malah yang disahkan adalah draft yang dikonsep pemerintah.

Ketika konsep pemerintah tersebut sudah di undang-undangkan, Adi melihat ada beberapa titik kelemahan. "Misalkan Masjid tidak boleh menghimpun zakat, ini kan lucu," jelasnya kepada Republika via telepon, Sabtu (2/11).

"Jadi hal-hal yang dulu diperjuangkan itulah yang disahkan. Aspirasi yang dulu sempat tertunda kini bisa terlaksana. Ini suatu hal yang baik," tambahnya.

Namun, undang-undang yang kini telah direvisi MK tersebut juga perlu dikawal oleh peraturan-peraturan lainnya. Seorang yang membayar zakat dan bisa menjadi pengurang kewajiban mereka di kantor pajak, juga harus menjalankan beberapa persyaratan. "Kita lihat undang-undang tidak berdiri sendiri tapi ada pp nya putusan lainnya yang merinci uu tersebut," jelasnya.

Demikian juga halnya bagi tempat-tempat yang tidak terjangkau oleh BAZNAS atau lembaga amil zakat resmi. Secara umum yang berlaku di tempat tersebut, pola penyaluran zakat tidak membutuhkan lembaga resmi. Masyarakat lebih melihat profil individu pengelola dan penghimpun zakat, bukan berdasarkan apakah lembaga tersebut resmi atau tidak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement