Senin 21 Oct 2013 12:47 WIB

Siraman GKR Hayu dan KPH Notonegoro Gunakan Air dari Tujuh Sumber

Rep: Neni Ridarineni/ Red: A.Syalaby Ichsan
Putri keempat Raja Keraton Ngayogyakarta Sri Sultan HB X, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu (kiri) didampingi calon suami, Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro, saat jumpa pers di Keraton Yogyakarta, Jumat (11/10).
Foto: Antara
Putri keempat Raja Keraton Ngayogyakarta Sri Sultan HB X, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu (kiri) didampingi calon suami, Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro, saat jumpa pers di Keraton Yogyakarta, Jumat (11/10).

YOGYAKARTA -- Siraman merupakan salah satu rangkaian acara  pernikahan GKR Hayu dan KPH Notonegoro yang dilaksanakan di hari pertama, Senin (21/10).

Pada upacara siraman yang dimulai pukul 10.55, permaisuri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Hemas, Senin (21/10) memimpin langsung upacara siraman GKR Hayu  dengan KPH Notonegoro.

Upacara siraman calon pengantin putri dan pria dilakukan secara terpisah yakni GKR Hayu di Bangsal Sekar Kedathon dan KPH  Notonegoro di Bangsal Kasatriyan, Kompleks Kraton Yogyakarta.

Siraman dilakukan sebagai simbol menyucikan diri. Siraman diharapkan dapat menjadikan seseorang bersih secara jasmani maupun rohani.

Sebelum siraman,  GKR Pembayun yang merupakan kakak dari GKR Hayu mengutus adiknya GKR Maduretno yang didampingi oleh abdi dalem Sipat Bupati dan abdi dalem Keparak untuk mengambil air dari tujuh sumber.

Siraman menggunakan air dari tujuh sumber di Kraton (Dalem Bangsal sekar Kedhaton, Dalem Regol Manikhantoyo, Dalem Bangsal Manis, Dalem Regol Gapura, Dalem Regol Kasatriyan, Dalem Kasatriyan Kilen dan Gadri Kagungan Dalem Kasatriyan).

''Hal itu  melambangkan bahwa semua yang memiliki hajatan adalah Sultan dan semua yang ada di Kraton sudah mendapatkan restu,'' Kata Ketua Panitia Penyelenggara Prosesi Pernikahan di Kraton Yogyakarta KRT Yudahadiningrat.

Di samping itu tujuh sumber itu melambangkan petunjuk. Sehingga diharapkan para calon pengantin dalam menjalani kehidupannya mendapat petunjuk  dan pertolongan dari Allah swt.

Tujuh sumber air  itu ditaburi kembang setaman, yakni roncean bunga-bunga  yang mempunyai makna supaya perilaku sehari-hari selalu memberikan keutamaan dan contoh. Air tersebut kemudian diguyurkan ketubuh calon mempelai putri GKR Hayu yang di kepala dan tubuhnya dibalut dengan roncean bunga melati.

Guyuran pertama dilakukan oleh ibunda calon mempelai putri GKR Hemas.Kemudian dia memborehkan mangir di badan GKR Hayu dengan beberapa warna antara lain: berwarna kuning simbol kemuliaan, biru simbol kekuatan jiwa raga, putih lambang membersihkan lahir dan batin)

Lalu siraman dilanjutkan oleh  sesepuh keluarga Kraton (GBRAy Murdokusumo (Kakak HB X), BRAy. Purboyo (adik HB IX) dan guyuran terakhir siraman dilakukan oleh Mooryati Soedibyo. Yang melakukan siraman jumlahnya selalu ganjil sebagai lambang keabadian dan tanda pengakuan segala kekurangan.

Prosesi terakhir siraman berupa  pemberian  air dari klenthing untuk berwudlu oleh Nyai Kangjeng Raden  Penghulu Dipodiningrat kepada GKR Hayu. Setelah air dari klenthing habis, klenthing dipecahkan oleh  GKR Hemas sambil berkata, '' Kanthi pecahing klenthing iki, pecah pamore anakku (red. bersamaan dengan pecahnya klenthing ini, pecah pula pamor anak saya).''

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement