REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Anggota Komisi II DPR RI Malik Haramain mengatakan semua fraksi telah menyetujui larangan penerapan politik dinasti dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.
"Meski RUU-nya belum diputus, tapi semua fraksi hingga Minggu (13/10) kemarin setuju, jadi politik dinasti sudah pasti diatur di UU Pilkada," kata Malik setelah mengikuti acara diskusi di Jakarta, Rabu.
Malik mengatakan dalam pasal di RUU Pilkada nanti, akan diatur calon kepala daerah tidak memiliki ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah dan ke samping dengan kepala daerah tersebut kecuali dengan usulan selang waktu lima tahun.
Sebelumnya, pada Pasal 12 Huruf (p) RUU Pilkada, selang waktu yang diatur untuk tingkatan gubernur adalah minimal satu tahun, sedangkan untuk tingkatan bupati/wali kota diatur selang waktu satu masa jabatan.
"Itu semua sudah disepakati semua fraksi dan pemerintah untuk diatur dalam RUU Pilkada," ujarnya.
Dalam larangan dinasti politik di RUU Pilkada nanti, lanjut Malik, tetap menjadi pertimbangan hak-hak warga sipil dalam berpolitik. Malik mengatakan untuk tingkat kabupaten/kota, terdapat usulan juga tidak ada selang waktu dalam pemilihan calon wali kota/bupati yang memiliki hubungan darah dengan pimpinan sebelumnya, namun dengan syarat berbeda wilayah kepemimpinan.
"Asal kabupaten/kotanya beda, namun untuk gubernur tentu harus berbeda wilayahnya dengan level yang sama, tapi itu semua masih usulan, masih akan dibahas lagi," katanya.
Malik menyebut politik dinasti telah menimbulkan anomali dalam demokrasi, yang dimanfaatkan untuk mempertahankan kekuasaan dan jabatan.
Wacana politik dinasti ini mencuat setelah KPK menangkap Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan yang merupakan adik Gubernur Banten Ratu Atut Choisyah, dalam kasus dugaan suap Ketua MK nonaktif Akil Mochtar.
Anggota keluarga Ratu Atut juga menempati jabatan strategis di pemerintahan dan DPRD Provinsi Banten, dan diduga menimbulkan benturan kepentingan yang sudah lama terjadi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga sebelumnya telah mengkritik mengenai keberadaan politik dinasti dalam konteks yang lebih luas.