REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, memahami keinginan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Peraturan Pengganti UU (Perppu) soal Mahkamah Konstitusi (MK). Dia menilai, Presiden merasa masalah di MK itu genting, kalau menunggu DPR membuat undang-undang akan terlalu lama.
"Kalau memang Presiden ingin mengeluarkan Perppu, silakan saja. Asalkan isinya tidak bertentangan dengan konstitusi," kata Refly Lukman dalam acara diskusi MPR bertema 'Runtuhnya Benteng MK' di Jakarta, Senin, (7/10).
Isi Perppu tersebut, terang Refly, setidaknya mengandung empat hal, antara lain mengatur pengawasan terhadap perilaku hakim konstitusi yang dilakukan oleh pihak eksternal; mengatur rekruitmen hakim konstitusi secara transparan, akuntabel, pastisipastif; dan mengatur tentang persyaratan anggota parpol tidak boleh jadi hakim konstitusi.
"Setidaknya perlu diatur orang parpol harus non aktif dari parpol selama lima tahun jika ingin menjadi hakim konstitusi. Sebab faktanya orang parpol sering bergesekan dengan kepentingannya," ujar Refly.
Menurut Refly, sebenarnya tidak masalah kalau Presiden ingin Komisi Yudisial mengawasi MK, walaupun undang-undang ini pernah dibatalkan oleh MK. "Kalau sudah ada KY masak harus membuat infrastruktur yang baru, namun kalau ingin membuat semacam majelis pengawas etik MK yang bersifat permanen tidak apa-apa," katanya.
Sebenarnya, ujar Refly, Presiden boleh mengeluarkan Perppu apa saja namun harus ada prinsip umum yang dijaga. "Kalau hanya ingin meminta KY mengawasi MK itu tidak apa-apa, itu bukan masalah fundamental dalam tata negara," ujarnya.