REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR, Pramono Anung Wibowo, mengusulkan agar Mahkamah Konstitusi kewenangannya dikembalikan sesuai dengan amanah UUD NRI 1945, yakni mengawal konstitusi.
"Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang mengawal konstitusi kinerjanya sudah sudah baik," kata Pramono Anung Wibowo, di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Jumat (4/10). Pramono Anung mengatakan hal itu menanggapi tertangkapnya Akil Mochtar yang diduga melakukan transaksi penyuapan terkait sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Lebak, Banteng, di Jakarta pada Rabu (2/10) malam.
KPK telah menetapkan Akil Mochtar sebagai tersangka pada sengketa pilkada di kedua kabupaten tersebut, serta menetapkan beberapa nama lainnya sebagai tersangka.
Menurut Pramono, kewenangan Mahkamah Konstitusi kemudian ditambahkan melalui UU No 8 tahun 2011 tentang Pemilu, yakni menyelesaikan sengkta pilkada, sehingga lembaga yang seharusnya mengawal konstitusi jadi terlibat dengan politik praktis. "Inilah yang menjadi awal. Begitu terlibat dengan politik praktis, maka Hakim Agung dengan rambut sudah putih dan seharusnya tak bersentuhan dengan keinginan atau kemauan akhirnya bisa tergoda," ujarnya.
Mantan Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan ini menambahkan, tertangkapnya Ketua MK, Akil Mochtar, merupakan persoalan serius dan menjadi tamparan keras bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. "Sebaiknya Mahkamah Konstitusi dikembalikan pada tugas pokok dan fungsinya mengawal konstitusi dan tidak dikaitkan dengan politik praktis," ucapnya.
Penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi oleh penyidik KPK di rumah dinasnya di Jakarta pada Rabu (2/10) malam, meruntuhkan paradigma Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga dengan integritas tinggi. "Baik Mahkamah Konsitusi maupun Akil Mochtar, citranya menjadi rusak dan sulit diperbaiki," katanya.