REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Pemerintah akan mengupayakan semaksimal mungkin untuk keringanan hukuman bagi Wilfrida Soik, tenaga kerja wanita (TKW) asal Nusa Tenggara Timur yang terancam hukuman mati di Malaysia.
Menurut Ketua Harian Gugus Nasional Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pemerintah Indonesia, Linda Amelia Sari Gumelar, keringanan hukuman diupayakan antara lain dengan pembuktian bahwa saat kejadian, usia Wilfrida masih di bawah umur.
"Karenanya, dia harus diadili dengan mengacu pada undang-undang perlindungan anak yang dimiliki negara itu," kata menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ini, Kamis (4/10).
Linda menyatakan, kasus Wilfrida tak hanya sekadar kasus pembunuhan, namun juga perdagangan manusia atau trafficking. "Dia adalah korban," katanya.
Menurutnya, masih ada waktu sampai sidang berikutnya tanggal 27 November mendatang untuk melakukan berbagai upaya. Pihak pemerintah, katanya, terus berkoordinasi dengan pengacara Wilfrida, Ratfizi & Rao dan menempuh upaya lain di luar pengadilan, di bawah koordinasi Kementerian Luar Negeri.
Wilfrida diancam hukum gantung setelah terbukti melakukan pembunuhan atas majikannya, Sook Pen (60), dengan menikamnya sebanyak 43 kali. Sebelum kejadian yang berlangsung pada 7 Desember 2010 itu, Wilfrida merasa tak tahan acapkali dimarahi dan dipukuli oleh majikannya. Ia melawan sang majikan dengan menggunakan pisau dapur.
Wilfrida ditahan di Penjara Pangkalan Chepa, Kota Bharu, Kelantan sejak saat itu. Ia dituntut pasal 302 Kanun Keseksaan (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dengan ancaman hukuman mati.
Menurut Linda, upaya pendampingan atas Wilfrida dilakukan sejak 2010. Berbagai upaya, katanya, telah dilakukan, termasuk mengumpulkan sejumlah bukti bahwa dia masih di bawah umur dan merupakan korban trafficking. Seperti diketahui, kata Linda, dia berangkat ke Malaysia pada 2010, pada saat Indonesia melakukan moratorium pengiriman TKW ke Malaysia. "Dari indikasi ini, jelas dia adalah korban trafficking," ujarnya.
Sidang Wilfrida pada Senin (30/9) ditunda karena harus menunggu pemeriksaan umurnya pada saat kejadian berlangsung. "Pembuktian usia sebenarnya Wilfrida diharapkan dapat menjadi peluang terlepasnya Wilfrida dari ancaman hukuman mati," kata Linda. Apabila terbukti dia masih berusia 18 tahun pada saat kejadian, maka sesuai Akta Kanak-Kanak di Malaysia, ia tidak dapat dijatuhi hukuman mati.
Linda menyatakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) juga terus memantau perkembangan kasus Wilfrida hingga kasus ini mendapat penyelesaian seadil-adilnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut dia, UU perlindungan anak Malaysia, Akta Kanak-Kanak Tahun 2001 selaras dengan UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. "Dalam kedua peraturan perundang-undangan ini disepakati bahwa anak-anak yang berusia 0 sampai 18 tahun mendapatkan perlindungan khusus dari segala hal, tak terkecuali pada kasus yang dialami oleh Wilfrida," katanya.
Menurutnya, selama ini pemerintah Indonesia telah membela TKI maupun TKW yang terancam hukuman mati dengan pembelaan hukum dan diplomasi. Berdasar data dari KBRI Malaysia, sampai saat ini pemerintah RI telah menyelamatkan 193 WNI dari ancaman hukuman mati dan 189 WNI yang masih menjalani proses hukum.
Dukungan atas Wilfrida datang dari berbagai kalangan. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berencana untuk bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, di sela-sela perhelatan KTT APEC di Bali, untuk meminta pemerintah Malaysia memberi perhatian khusus dan menghindarkan Wilfrida dari ancaman hukuman mati.