Jumat 30 Aug 2013 23:05 WIB

Nasib, Anak WNI Tak Bisa Bahasa Indonesia (III - Habis)

Rep: Erdy Nasrul / Red: Djibril Muhammad
Bendera Indonesia
Bendera Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, Yang dialami Reymark dulu ketika sulit berbahasa Indonesia dirasakan murid SID, Stanley Tagoreri Dalisang (18). Orang tuanya berasal dari Sulawesi Utara.

Sambil mengepalkan tangan, dia menyatakan dalam Bahasa Inggris, harus bisa bahasa Indonesia. "Saya sangat malu sebagai orang Indonesia tidak mampu berbahasa Indonesia," paparnya.

Stanley mengaku selalu berusaha keras untuk menguasai Bahasa Indonesia. Dia mempelajari makna Burung Garuda, Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika. Kemudian dia juga ditunjukkan gambar-gambar sejumlah daerah di Indonesia. Jakarta tentu tidak ketinggalan.

"Saya tahu Jakarta macet dan penuh kesibukan, namun saya belum pernah kesana," imbuhnya.

Dia juga ditunjukkan gambar candi borobudur. "Wow," katanya dengan mata terbelalak. Semakin bangga rasanya menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), karena memiliki peninggalan sejarah yang usianya lebih dari 1.500 tahun.

Dia penasaran bagaimana bisa pada zaman tersebut orang - orang membuat bangunan seperti itu. Bagaimana pula bangunan itu bisa ada sampai saat ini. Reymark dan Stanley semakin kagum dan bangga menjadi WNI.

Keduanya juga ditunjukkan gambar pura di Bali. Kalau sudah membahas propinsi satu ini, mereka akan terkejut, karena Bali menjadi pusat pariwisata dunia. Daerah yang bersebelahan dengan Pulau Jawa ini menjadi tempat shooting film-film Hollywood. Presiden Amerika juga berwisata ke sana.

Reymark dan Stanley tambah berhasrat mengunjungi Indonesia. Dia yakin akan kesana. Dan jika kesempatan itu datang, Stanley akan maksimalkan untuk mencintai tanah air. "Tidak lupa, saya akan berbicara Bahasa Indonesia dengan orang-orang disana," ujarnya.

Tidak kurang dari 120 anak menjadi murid SID. Wakil Kepala SID, Nanang Sumanang, menyatakan sebagian dari mereka sudah bisa berbahasa Indonesia, tapi masih harus ditingkatkan.

Pernah dalam proses belajar mengajar di kelas, anak-anak diminta membuat kalimat menggunakan kata penghubung.

"Saya pak," teriak seorang murid sambil mengacungkan tangan. Bukannya menggunakan kata dan, atau, dan lainnya, anak itu malah membuat kalimat lain. "Penghubung Jansen sudah datang di Davao," jelas anak itu seperti dituturkan Nanang.

Pernah juga seorang anak ditanya Konsul Jenderal RI di Davao periode lalu, "Naik apa kesini?" Kemudian seorang anak WNI dari General Santos, menjawab, "Saya naik sepatu."

Mereka, menurutnya, adalah anak-anak yang dididik untuk mengenal Indonesia. Meskipun mereka dibesarkan di Tanah Filipina, mereka harus tetap bersemangat merah dan putih, memiliki satu tanah air, tanah air Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement