REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog) dalam menstabilkan harga daging sapi dinilai gagal.
Ketua Bidang Ekpor/Impor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) Asnawi menilai kebijakan Bulog tidak melibatkan langsung komponen pedagang. Bulog hanya menggelar operasi pasar dengan objek pasar.
Meski begitu, Asnawi menghargai upaya pemerintah untuk menstabilkan harga daging sapi."Hanya eksekusinya yang kurang tepat,’’ katanya di sela-sela diskusi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dengan tema ‘Darurat Pangan Jelang Lebaran’ di Jakarta, Jumat (26/7) malam.
Lebih lanjut, dia menilai, Bulog hanya sebatas melibatkan pedagang dan distributor sebagai rekanan bisnis. Di sisi lain, kata Asnawi, distributor selaku pengusaha besar mempunyai kondisinya stabil.
"Jadi yang tidak stabil kan (kondisi) pasar. Semestinya Bulog langsung berhadapan dengan pedagang supaya tidak ada lagi mata rantai yang mengambil keuntungan,’’ tuturnya.
Dia memaklumi peran perum Bulog sebagai perusahaan yang berorintasi keuntungan (profit oriented). Namun dia menekankan, seharusnya Bulog mengambil keuntungan dengan harga yang wajar yaitu Rp 2.500-Rp 3.000 per kilogram (kg).
Faktanya, tutur Asnawi, distributor saja bisa mengambil keuntungan sampai Rp 3.000 per kg. Tidak hanya itu, Asnawi melihat daging sapi yang ditawarkan Bulog saat ini adalah daging yang tidak tepat sasaran. Ini karena daging sapi yang ditawarkan adalah daging yang tidak masuk ke pasar becek, namun untuk hotel, restoran, dan katering (horeka).
‘’Kebutuhan di pasar becek kan hanya dua opsi, yaitu sapi siap potong dalam pengertian daging segar atau chiller karkas. Nah ini kan suatu hal yang sudah sangat keliru,’’ katanya.