REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Akbar Wijaya/ Wartawan Republika
Otonomi daerah (otda) bukan hal baru di Indonesia. Semangat otonomi sudah dicita-citakan para pendiri bangsa sejak awal kemerdekaan Indonesia. Bukti cita-cita itu tertuang dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Inti konsepsi dari pasal ini adalah pengakuan pusat terhadap eksistensi pemimpin daerah di tengah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Otonomi daerah telah muncul sejalan dengan lahirnya UUD 1945 yang terwadahi dalam pasal 18 UUD 1945,” kata pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris dalam buku Desentralisasi dan Otonomi Daerah.
Keberadaan Pasal 18 UUD 1945 menjadi payung hukum lahirnya undang-undang lain yang bernafaskan otonomi. Sebut saja misalnya undang-undang UU No.1 Tahun 1945 hingga UU No. 5 Tahun 1974 yang mengatur soal kebijakan otonomi dan desentralisasi. Perhatian lebih intensif terhadap otda muncul pada 1996. Kala itu pemerintah melalui Keppres No. 11 tahun 1996 menetapkan 25 April sebagai Hari Otonomi Daerah dengan titik berat Daerah Tingkat II (kabupaten/kota).
Sayang, berbagai konsepsi tersebut terasa kering dalam kenyataan. Desentralisasi pembangunan yang menjadi roh utama otonomi hanya hidup di atas kertas. Dia belum hadir di masyarakat sebagaimana yang diharapkan. “Otonomi hanya formalitas saja,” ujar Syamsuddin Haris saat dikonfirmasi Republika, Ahad (21/7).
Menurut Syamsuddin selama Orde Lama dan Orde Baru otda gagal diterapkan lantaran ketegangan politik yang kerap terjadi antara pusat dan daerah. Alhasil pemerintah pusat menilai daerah belum mampu melakukan tata kelola pemerintahan sendiri. Di sisi lain, daerah curiga pusat sengaja menutup kewenangan daerah karena takut kehilangan pengaruhnya. “Otonomi tidak implementasikan karena pemerintah sentralistik,” kata Syamsuddin.
Semangat pembaruan membenahi praktik otda muncul seiring gerakan reformasi 1998. Ketika itu kejenuhan terhadap pola pemerintahan yang sentralistik dipadu kekecewaan terhadap rapuhnya fondasi ekonomi nasional menyeruakkan tuntunan pemisahan diri dari sejumlah daerah.
Tuntutan itu dijawab pemerintahan B.J. Habibie lewat UU No. 22 tahun 1999 yang direvisi menjadi UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini secara gamblang memberi hak sekaligus kewenangan kepada daerah mengatur keuangan dan pembangunan secara mandiri.
Euforia pun tak terelakan. Pemekaran merebak bak jamur di musim penghujan. Tercatat sampai dengan Juli 2013 jumlah provinsi di Indonesia terus bertambah hingga mencapai 34 provinsi, kabupaten 410, dan kota 98. Seiring waktu, suara sumbang terhadap kebijakan otda pun mulai menggema. Para kritikus menilai otda hanya melahirkan raja-raja kecil yang menyuburkan praktik korupsi di daerah. Kritik ini misalnya datang dari Indonesia Corruption Watch (ICW).
Peneliti ICW Donal Faris menyebut sampai dengan 2013 ada 149 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Kepala daerah tersebut terdiri dari 20 gubernur, satu wakil gubernur, 17 walikota, 8 wakil walikota, 84 bupati dan 19 wakil bupati. “Banyak kepala daerah menyalahgunakan kewenangan untuk memperkaya diri dan kroninya,” kata Donal.
Donal mengatakan pola korupsi di setiap daerah berbeda satu sama lain. Di daerah yang kaya sumber daya alam, pola korupsi terjadi lewat izin tambang dan alih fungsi lahan. Sedangkan di daerah yang minim sumber daya alam pola korupsi banyak terjadi lewat manipulasi anggaran belaja daerah untuk pengadaan barang dan jasa. Donal meminta masyarakat kritis menyikapi fenomena ini. “Lemahnya kontrol publik menjadi sebab otonomi daerah gagal mencapai tujuannya,” ujar Donal.
Tapi otonomi bukan sekadar cerita muram pembangunan. Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Isran Noor menjabarkan sejumlah sisi positif otonomi daerah. Menurut Bupati Kutai Timur ini, otda membangun iklim kompetitif antar kepala daerah dalam menyejahterakan masyarakat. Kepala daerah dipacu untuk tidak melulu menggantungkan diri dari sumber keuangan pusat.
“Saya yakin saat ini banyak kepala daerah yang berusaha menyakinkan para investor menanamkan modal,” kata Isran.
Melalui APKASI Isran mendorong solidaritas gotong royong di antara kepala daerah. Salah satu caranya membantu daerah tertinggal berbenah diri. Dengan begitu para investor tidak ragu menanamkan modal untuk membangun daerah “APKASI akan membantu daerah berbenah diri agar investor yakin menanamkan modalnya,” ujarnya.
Asal dikelola dengan benar investasi bisa menjadi berkah bagi daerah. Berkah itu menurut Isran misalnya muncul lewat penyerapan tenaga kerja dan perputaran roda ekonomi yang progresif. “Penyerapan tenaga kerja di daerah muncul, begitu juga banyak terjadi transaksi ekonomi di daerah,” katanya.
Di sisi lain otda juga berperan besar dalam proses demokratisasi di Indonesia. Dalam hal ini pemerintah daerah berfungsi sebagai penjaga kondusifitas sistem kepartaian di tingkat lokal sekaligus mengawal proses pemilihan langsung kepala daerah.
Isran mengakui pelaksanaan otonomi daerah memang tidak semuanya berjalan baik. Namun menurutnya hal ini tidak berarti kebijakan otda gagal dan mesti dihapuskan. “Paradigma desentralisasi tidak hanya memperkuat otoritas pemerintah daerah serta menghasilkan kemajuan demokrasi di tingkat lokal, akan tetapi juga pemberdayaan berkelanjutan baik pemerintah daerah provinsi, maupun pemerintah daerah kabupaten/kota,” kata Isran dalam buku Isran Noor :Politik Otonomi Daerah Untuk Penguatan NKRI.
Direktur Peningkatan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah (PKEKD) Ditjen Otda Kemendagri RI, Kartiko Purnomo mengatakan prasyarat utama keberhasilan pelaksanaan otda dilihat dari kemampuan pemerintah daerah melaksanakan berbagai urusan pemerintahan dengan baik dan penuh tanggung jawab.
Pemerintah daerah harus mampu meningkatan kualitas pelayanan publik dan terus berupaya memenuhi hak-hak masyarakat mendapatkan pelayanan yang baik dari pemerintah. “Untuk itu, diperlukan kapasitas pemerintahan daerah yang mampu mengimplementasikan prinsip-prinsip good goverments dengan sebaik-baiknya,” pesan Kartiko.