REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pelarangan polisi wanita (Polwan) mengenakan jilbab terus mendapatkan sorotan pedas dari tokoh-tokoh pemuka agama. Kebijakan tersebut dinilai melanggar konstitusi, HAM, bahkan UUD 1945 pasal 28 E yang menyatakan kebebasan menjalankan perintah agama sesuai keyakinan masing-masing.
Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, Prof Din Syamsuddin mengatakan seharusnya keinginan Polwan berjilbab dilihat Kapolri sebagai sesuatu yang positif. Menurut Din, di tengah keruntuhan citra kepolisian di tengah-tengah masyarakat akan rusaknya nilai-nilai moral, ternyata malah ada anggotanya yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dan agama. Hal ini harusnya mendapatkan sambutan baik dan dihargai.
“Itu kebijakan yang tidak bijak. Karena memakai jilbab bagi muslimah adalah bagian dari keyakinan dari pengamalan ajaran agama, dan itu dijamin oleh negara. Seperti yang dibunyikan dalam undang-undang daasar 1945, negara memberikan kemerdekaan bagi pemeluk agama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya,” jelasnya kepada Republika selepas shalat Ashar di Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan, Ahad (16/6). Ia baru saja menghadiri acara Kajian Politik Islam yang diselenggarakan di masjid tersebut yang dimulai pukul 13.30 WIB.
Din juga membantah dengan berjilbab akan mengganggu tugas-tugas polwan dalam beraktivitas. Menurutnya, jawaban seperti itu hanya mengada-ada dan refleksi dari jendral yang tidak bijak serta tidak memahami konstitusi.
“Janganlah polri mengedepankan kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi. Jadi sangat nista dan naif,” katanya.