REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian. Namun, BPK memberikan penjelasan, yaitu Pemprov DKI Jakarta harus memperhatikan lima hal yang ditekankan oleh BPK.
Kepala Perwakilan BPK Provinsi DKI Jakarta, Blucer W Rajagukguk, mengatakan pertama Pemprov DKI belum menerapkan kebijakan penyisihan piutang. Kedua, penyertaan pada satu BUMD dengan metode ekuitas masih didasarkan pada laporan keuangan audited tahun 2011.
Selain itu, penyertaan pada RS Haji sebesar yang menggunakan metode biaya. Artinya pemprov DKI memiliki saham RS Haji Pondok Gede sebesar 51 persen sedangkan Kementerian agama memiliki 49 persen sisanya. Tetapi rumah sakit tersebut dikelola oleh Kementerian Kesehatan.
"Ini yang tidak jelas laporannya, Saya menyarankan DKI Jakarta untuk menyurati mereka terkait penerimaan dan pengeluaran RS tersebut," ujarnya di Ruang Sidang Paripurna DPRD, Kamis (30/5). Begitu juga dengan keuntungan yang didapatkan pemprov DKI Jakarta tidak jelas. Blucer mengimbau pada Gubernur DKI Jakarta untuk menanyakan haknya selama ini, jika tidak pernah dibagi apakah akan meningkat haknya.
Ketiga, kebijakan penyusutan aset tetap belum diterapkan. Artinya, aset 20 tahun dibeli, saat ini nilainya sama. Seharusnya disesuaikan dengan nilai penyusutannya. Nilai saat ini berbeda dengan saat membeli.
Keempat, Pemprov DKI Jakarta akan mengajukan Peninjauan Kembali atas Putusan Kasasi MA dalam kasus sengketa lahan di Meruya Selatan senilai 291,43 miliar. Kelima, potensi kewajiban putusan PK MA atas objek sengketa dengan PT DWK.