REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belum terungkapnya kasus pelanggaran hak asasi manusia 1965 dan 1998 mendorong sejumlah mahasiswa tergugah untuk kembali mengingatkan masyarakat. Mereka bergabung membentuk sebuah koalisi mahasiswa dan pemuda yang mereka namakan Pita Hitam.
Melalui deklarasi menolak politisi bermasalah, mereka mendorong agar publik menjadi pemilih yang cerdas dan kritis sehingga tidak memilih orang-orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam peristiwa pelanggaran HAM, korupsi dan kejahatan lingkungan.
Kedua, Presiden diharap segera memberikan instruksi pada jaksa agung untuk melakukan penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat yang sudah diselidiki Komnas HAM.
Robi dari BEM UI mengatakan publik mengalami lupa ingatan akut akan masa lalu. Menurutnya, banyak pejabat yang terlibat pelanggaran HAM di masa lalu masih menduduki jabatan di pemerintahan sehingga pengungkapan kasus HAM sulit dituntaskan.
Wildan dari Front Aksi Mahasiswa UI menambahkan bulan Mei merupakan momentum perlawanan. Ia mengkritisi pencalonan Prabowo sebagai presiden sebagai hal yang konyol. Karena itulah ia ingin menyosialisasikan hal tersebut kepada masyarakat.
Achmad Fanani Rosidi dari Komite Mahasiswa dan Pemuda antikekerasan UIN Syarif Hidayatullah justru menilai adanya vacuum of movement dari kalangan mahasiswa. Ia mengatakan gerakan mahasiswa tidak ada yang lepas dari agenda LSM dan Ormas.
"Mahasiswa perlu bergerak secara mandiri. Entah itu gerakan sendiri, dana sendiri atau inisiatif sendiri yang murni dari mahasiswa," ujarnya saat ditemui di kantor Kontras, Menteng, Ahad (5/4).
Pita Hitam adalah koalisi mahasiswa dan pemuda yang antara lain terdiri dari BEM UI, FAM UI, Fresma Trisakti, Senat FH Atmajaya, BEM IISIP dan Kompak UIN Syarif Hidayatullah. Mereka bertujuan mendorong proses hukum atas penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, seperti Tragedi Trisaksi, Semanggi Tanjung Priok 1984 dan pelanggaran lain.