REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilu 2014 bakal diikuti sebanyak 12 partai politik (parpol) ditambah tiga parpol lokal di Aceh. Dengan sedikitnya jumlah peserta Pemilu 2014, maka popularitas parpol menjelang hari pemungutan suara akan semakin merata.
''Artinya, pada Pemilu 2014, partai-partai tidak lagi bisa mengandalkan keterkenalan partainya. Mau tidak mau partai-partai harus mampu mencari strategi jitu yang membuatnya berbeda dan menarik dibanding partai lain,'' ujar Jeffrie Geovanie, board of advisor pada Center for Strategic and International Studies (CSIS) kepada ROL, Jumat (5/4).
Jeffrie menilai, saat ini partai-partai peserta Pemilu 2014 seperti kehilangan kreativitas. Menurut dia, partai-partai bahkan terlihat sudah pasrah dengan hanya berusaha mempertahankan perolehan suara pada pemilu yang lalu.
''Padahal, sesungguhnya ada ide lama yg bisa dimunculkan kembali tentu dengan perbaikan proses dan mekanismenya. Apa itu? Konvensi partai untuk calon presiden,'' kata Jeffrie.
Menurut dia, Golkar pernah menggelar konvensi di bawah kepemimpinan Akbar Tanjung. ''Saat itu, Partai Golkar tengah terpuruk, setelah konvensi capres bergulir, hebohlah politik nasional. Masyarakat pemilih dipaksa untuk mengikuti dari hari ke hari konvensi tersebut. Dan terbukti kemudian Golkar memenangkan pemilu,'' tuturnya.
Ide konvensi Golkar tersebut, kata dia, tinggal disempurnakan oleh setiap parpol. '' Misalnya, penentuan pemenang serahkan pada pemilih di Indonesia melalui survei yang dilakukan oleh lembaga yang kredibilitasnya mumpuni.''
Dengan begitu, kata dia, akan banyak capres alternatif mengikuti konvensi itu. Para capres itu, kata dia, tinggal dibuatkan panggung-panggung di televisi nasional berupa program debat antara capres.
''Masyarakat jadi melihat dan mengenal kemampuan calon pemimpin mereka. Ide konvensi capres ini ideal sekali, namun akhirnya kita harus terbangun dari mimpi mengingat perilaku para pemilik partai yang tampaknya tidak akan berkenan melakukan itu dengan seribu alasan pembenaran,'' tutur Jeffrie.
Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity, Endang Tirtana menambahkan, tradisi konvensi politik dimulai pada 1766 di Amerika yang selanjutnya berkembang dan terus dipertahankan dalam tradisi partai politik di banyak negara di dunia.
''Konvensi partai ini terbukti mengundang gairah politik di masyarakat,'' ucap Endang.
Menurut dia, media akan senantiasa memberitakan dari hari ke hari mengenai calon presiden yang diusung setiap parpol. Hal itu dinilai bisa menjadi wadah untuk mengisi gap keterjarakan informasi antara kandidat presiden dengan pemilih.
''Sehingga pemilih tidak terkesan "membeli kucing dalam karung". Meskipun tidak bisa ditampik juga, bahwa "bisnis konvensi" bisa menjadi hal negatif dalam partai ketika "sawer uang" dijadikan strategi untuk memenangkan konvensi,'' tuturnya.
Selain itu, kata Endang, banyak pandangan yang menilai bahwa konvensi bisa menimbulkan perpecahan dalam partai karena calon-calon yang kalah akhirnya membuat manuver-manuver politik.
'''Konvensi memang belum menjadi budaya partai politik di Indonesia. Karenanya butuh keikhlasan dari para petinggi partai, karena mayoritas parpol di Indonesia masih dikendalikan kelompok-kelompok tua yang tidak ingin lepas dari kekuasaan,'' papar dia.
Endang mengingatkan penting parpol untuk untuk mengakomodir capres high profile yang elektabilitasnya tinggi, namun yang bersangkutan bukan kader atau pengurus partai, misalnya: Chairul Tanjung, Dahlan Iskan, Gita Wirdjawan, Mahfud MD dan Din Syamsuddin.
Terlepas dari "dua sisi koin" positif dan negatifnya, lanjut Endang, konvensi dalam penentuan capres dalam sebuah partai sangatlah penting untuk dilakukan di Indonesia guna mendekatkan figur terhadap masyarakat yang selanjutnya membuka ruang dialog.