REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mabes Polri diingatkan untuk tidak menjadikan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai ATM.
Aktivis lingkungan yang juga mantan direktur Nasional Wahana Lingkungan hidup Indonesia (Walhi) Berry Nahdian pun mengaku khawatir kalau LHP BPK akan disalahgunakan oleh jajaran perwira Polri..
BPK melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) pada 26 perusahaan di bidang pertambangan, kehutanan dan perkebunan ke Mabes Polri, Jakarta, pada Selasa (26/2).
Diduga, 26 perusahaan ini melakukan tipikor dengan mengakali perizinan ketika mengeruk kekayaan alam Indonesia di tahu 2011.
Namun, dengan laporan yang diajukan BPK ini, Berry mengaku khawatir malah terjadi praktik korupsi baru. Dia mengatakan, dari bertahun-tahun lalu perputaran uang kotor di perusahan pengeruk kekayaan alam bisa mencapai puluhan miliar.
Sehingga tak aneh bila para pelaku lebih memilih bermain mata dengan penegak hukum dari pada dipenjara dan kehilangan kuasa di tempat mereka melakukan tipikor.
“Jangan sampai kasus ini malah jadi ATM baru bagi Polri. Kita tahu lah bagaimana proses penegakan hukum di negri ini. Laporan BPK bisa menggembos asal terapor mau berbagi hasil,” ujar dia pada Republika Rabu (27/2).
Tak hanya soal kongkalikong dengan manajemen perusahaan. Ketua Umum Partai Hijau Indonesia ini juga mengatakan, praktik yang sama dapat terjadi jika ada oknum aparatur Pemerintah Daerah (Pemda) yang terlibat.
Dia berujar, surat kuasa pertambangan yang kini telah berganti nama menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUT) contohnya. IUT yang sering dilanggar ini merupakan produk Pemda. Sehingga, bila ada kejanggalan dalam pemanfaatan perizinan namun malah dibiarkan, berpotensi ada andil oknum Pemda di dalamnya.