REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan melakukan riset terhadap kementerian dan lembaga pada semester 1 tahun 2012. Dari studi tersebut, PPATK menemukan lima instrumen para pegawai negeri sipil dan pejabat untuk bertransaksi dengan indikasi korupsi dan pencucian uang.
Menurut laporan akhir tahun PPATK 2012, mereka umumnya masih bertransaksi dengan rekening rupiah (35,1 persen). Selain itu, transaksi berlapis ditemukan melalui polis asuransi (13,8 persen), deposito (13,2 persen) dan valuta asing (9,2 persen). Mereka juga melakukan pencucian uang dengan safe deposit box (6,9 persen).
"Penggunaan melalui Penyedia Jasa Keuangan (PJK) bank dalam melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang masih mendominasi sebanyak 57,6 persen selebihnya menggunakan PJK non bank dengan 42,4 persen,"seperti dikutip dalam laporan tersebut.
Pola transaksi yang paling sering digunakan adalah dengan cara tunai. Mereka juga menempatkan dana dalam bentuk investasi seperti deposito, Obligasi Ritel Indonesia (ORI), obligasi, reksadana, saham dan sukuk.
Tidak hanya itu, temuan lembaga intelijen keuangan ini menyebutkan transaksi dilakukan di perusahaan asuransi dengan nilai relatif besar dan tidak sesuai dengan profil. Contohnya saja pembelian polis asuransi atau penutupan polis, penggunaan nama keluarga sebagai tertanggung.
Kemudian, mereka juga menampung dana dalam jumlah besar pada rekening pribadi pihak lain yang terkait dengan mereka. Akan tetapi, bukan anggota keluarga.