REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Anggota Komisi III DPR, Eva K Sundari menyesali penarikan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Polri. Tindakan itu malah terlihat bahwa Polri tidak mematuhi perintah UU KPK yang menyatakan, penyidik terdiri dari Polri dan Kejaksaan Agung.
Situasi ketergantungan KPK terhadap Polri dan Kejaksaan Agung juga dianggapnya menjadi rawan pembangkangan. Terutama ketika ada konflik antara KPK dan dua lembaga tersebut. Padahal, niat awalnya itu ada sinergi dan koordinasi antara penyidik KPK dengan kepolisian dan kejaksaan.
“Ini terjadi karena presiden tidak menunjukkan kepemimpinannya dalam upaya mendukung KPK,” katanya melalui pesan singkat, Rabu (5/12).
Ia memaparkan, penarikan yang intensif setelah penanganan kasus simulator oleh KPK menyiratkan Polri tidak legowo dan melembagakannya dalam tindakan yang dapat melemahkan.
Menurut Eva, hubungan antara tiga lembaga itu sering dalam situasi konflik karena presiden tidak mencegah dan menghentikannya. Bahkan, terkesan membiarkan hal tersebut terjadi. Ini dipandang dia sebagai tanda tak ada keseriusan untuk memperkuat KPK untuk pemberantasan tipikor.
Instruksi presiden terkait hal itu pun dianggap tidak mendapat pengawalan serius. Bahkan, masih terjebak pada pencitraan personal presiden yang miskin tindakan.
“Tidak mungkin kapolri akan membangkang kalau presiden serius. Misalnya dengan surat official. Statement di dalam suatu pidato sudah tidak mempan karena kita tahu, gaya pak SBY itu akademik. Jadi wacana tanpa action atau enforcement,’’ papar Eva.
Dalam situasi demikian, ujar dia, KPK tidak punya pilihan lain kecuali outsource ke penyidik profesional yang independen. Tentunya setelah dilatih di tingkat internal. Untuk jangka panjang, perlu juga merekrut sejumlah penyidik sendiri sehingga menghilangkan ketergantungan penyidik dari dua lembaga lain.