Selasa 04 Dec 2012 18:01 WIB

Dulu, Melayu Jadi Tempat "Menyaring" Budaya Asing

Sketsa Pelabuhan Batavia pada 1780. Saat itu Batavia beralih ke tangan penguasa Eropa setelah Malaka terlebih dulu jatuh.
Foto: en.wikipedia.org
Sketsa Pelabuhan Batavia pada 1780. Saat itu Batavia beralih ke tangan penguasa Eropa setelah Malaka terlebih dulu jatuh.

REPUBLIKA.CO.ID,REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU – Sebagai bangsa maritim, Melayu ternyata bangsa istimewa. Bangsa ini tak cuma menjadi tempat pertukaran barang namun juga nilai-nilai termasuk budaya.

“Wilayah Melayu sangat luas, berkarakter maritim dan menjadikan laut sebagai saran utama dalam pertukaran budaya dan ekonomi,” kata Bondan Kanumoyoso, ahli sejarah dari Universitas Indonesia, dalam Dialog Budaya Melayu pada Selasa (4/12).

Ia pun menambahkan, wilayah maritime Melayu itu membentang sekitar Laut Jawa, Samudra Hindia, hingga Laut Cina Selatan. Jalur perdagangan yang aktif pada abad ke 16-17, kata Bondan, adalah Selat Malaka dan Selat Sunda. Saat itu, orang-orang di wilayah utara termasuk bangsa Eropa sudah mulai memasuki kawasan Melayu. Namun, mereka tidak perlu masuk hingga ke lokasi untuk membeli aneka rempah karena semua tersedia di Malaka tersebut.

“Dari situ, muncullah bahasa Melayu sebagai lingua franca (bahasa pergaulan/pemersatu). Melayu menjadi jalur masuknya budaya, ekonomi, agama, dan lain-lain. Maka bisa dikatakan bahwa setiap budaya asing yang masuk ke nusantara disaring dulu oleh Melayu,” papar Bondan.

Mengenai kemajuan Malaka, kata Bondan, ternyata bukan karena lokasinya yang strategis. “Justru karena penguasanya sangat kondusif dengan mengeluarkan regulasi yang cukup maju untuk ukuran saat itu.”

Malaka menjadi pelabuhan pertama yang jatuh ke tangan Eropa, yaitu pada 1511. Kota-kota pelabuhan yang jatuh berikutnya anara lain Batavia, Banten, Riau, dan Bengkulu. Namun, tak semua penaklukan itu melalui perang. “Ada juga yang lewat kontrak antara penguasa lokal dan asing,” katanya.

Sementara menurut peneliti Lembaga Penelitian dan Ilmu Pengetahuan, Bisri Effendi, bangsa Melayu sangat responsif terhadap pengaruh luar. Respons itu terkadang diungkap lewat tradisi lisan.

Ia memberi contoh saat ada rencana pemerintah untuk mengolah Natuna menjadi pusat perkebunan sawit, yang kemudian muncul protes dari warga Melayu setempat. “Bagi mereka, tanah adalah amanat yang tidak boleh diganggu.”

“Namun, protes itu tidak dalam bentuk demo, melainkan lewat rekonstruksi budaya seperti hidup kembali hikayat mistis tentang orang Bunian,” kata Bisri.

Cerita mistis ini makin santer dan hidup ketika alat-alat berat pembangunan mulai diturunkan ke lokasi. Kisah lisan “Juragan yang Budiman” juga terkenal di tenga masyarakat, yaitu kisah yang bertutur tentang pergantian kekuasaan. “Kebudayaan juga adalah rangkaian respons. Namun, kadang hal-hal semacam ini sulit dipahami orang lain,” katanya.

Dialog Budaya Melayu ini digelar 3-5 Desember yang dihadiri para peserta dari 17 provinsi serta dari Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand. Tak hanya dialog, acara bertajuk "Revitalisasi Kearifan Budaya Melayu, Kini dan Masa Datang" ini juga menampilkan pertunjukan budaya dan pameran budaya Melayu. Dialog ini hasil kerja sama Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Riau dan Lembaga Adat Melayu Riau.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement