Jumat 30 Nov 2012 08:00 WIB

Sesaknya Sampah di Ciliwung Tua (bagian 1)

Mandi-mandi di sungai Ciliwung (ilustrasi).
Foto: wartawarga.gunadarma.ac.id
Mandi-mandi di sungai Ciliwung (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh A Syalaby Ichsan (wartawan Republika)

Pria itu bertelanjang dada. Tulangnya tampak menonjol dibungkus kulitnya yang legam. Sesekali, mulutnya menghisap rokok dalam-dalam. Hidungnya ikut membantu mengembuskan asap. Matanya lirih menatap sungai.

Di tengah pelamunan, terdengar bunyi sampah yang jatuh ke sungai. Suara itu berasal dari Tempat Pembuangan Sampah (TPS) warga yang terletak hanya lima meter dari rumah kontrakan Abdul Muthollib, nama pria itu. TPS itu menjadi tempat warga RW 12, Kelurahan Bukit Duri Tanjakan, Jakarta Selatan, sehari-hari membuang sampah.

TPS 'bersembunyi' di balik pagar kayu. Warga pun bisa leluasa membuang sampah ke kali tanpa harus membayar kepada petugas  kebersihan.  "Kalau yang tinggal di bawah buang ke sini, tapi yang di atas pakai gerobak," ujar Abdul Muthollib.

Di seberang kali, tampak seorang ibu menghampiri getek. Tangannya membawa tempat sampah abu-abu berukuran sedang. Kotak berisi sampah itu dicelupkan ke dalam sungai, sehingga sampah di dalamnya pun ikut terbuang. Setelah kosong, tempat sampah kemudian dikeringkan. Selesai dengan urusan sampah, ibu pun masuk ke dalam sebuah kamar kecil di ujung  getek.

Kloset  tempat  buang hajat warga di RW 08, Kampung Pulo, Kampung Melayu, sungguh tradisional. Bentuknya yang segi empat cuma dibungkus terpal dan bertiang bambu. Tidak ada atap di sana. Bahkan, kepala si ibu masih bisa terlihat saat dia sedang menikmati ritual buang hajat.

Di tengah ritual itu, lalu-lintas di Ciliwung semakin padat. Anak-anak sekolah silih berganti masuk ke dalam getek.  Tangan Abdul Majid, si penarik rakit, tidak henti-hentinya menarik tambang yang sudah diselipkan ke dalam katrol. Badankali sudah semakin sempit, karenanya, ia pun tak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk menarik tambang untuk membawa penumpang.

Sejak lama, rakit berbahan bambu itu menjadi penghubung warga Bukit Duri dengan Kampung Pulo. Selain dapat memangkas  jalan, ongkos yang dikeluarkan tergolong murah. Abdul Majid memang tidak mematok tarif tertentu untuk para pelanggannya.

Tak lama kemudian terdengar rombongan anak berseragam merah putih berdendang. Mereka pengguna pelanggan setia jasa  getek Abdul Majid. Setiap pagi dan sore, para siswa itu naik getek untuk bersekolah. Bayarnya sukarela, Rp 500 sampai Rp 1.000.

Tidak cuma siswa sekolah. Tukang pos, ibu rumah tangga, pedagang kue, menjadi langganan Majid. Hanya, banyak di antara penumpang Abdul Majid membuang sampah yang dibawanya langsung ke kali. Bukan cuma penumpang, rata-rata warga bantaran kali Kampung Pulo dan Bukit Duri memang menjadikan Ciliwung sebagai 'tempat sampah' untuk limbah rumah tangga.

 Baik di Kampung Pulo dan Bukit Duri Tanjakan, ada beberapa bak sampah yang disediakan. Bak sampah  berukuran dua kali tiga meter itu diletakkan di pojok jalan. Spanduk imbauan untuk tidak membuang sampah di kali pun terpasang di beberapa sudut kampung. Sayangnya, warga lebih memilih untuk membuang ke kali. "Lebih gampang buang di kali Bang,"seloroh Majid.

Sampah pun langsung masuk ke kali untuk pergi hingga ke hilir. Sementara yang di bantaran, bakal mengendap membentuk tebing. Maka, jangan heran jika jarak antara Kampung Pulo dengan Bukit Duri kian mendekat. "Kalau dulu saya nyambit (melempar batu) enggak sampai ke kali,"ujar Tholib.

Jika banjir tiba, warga Bukit Duri dan Kampung Pulo menjadi warga pertama yang harus mengungsi.  Tholib dan warga lainnya bakal mengungsi ke mushala di atas kampung.  Tapi Tholib optimistis menghadapi musim hujan yang bakal masuk pada akhir tahun ini. Pengalaman pada tahun lalu, ujarnya, musim hujan tidak sampai menenggelamkan rumah. Air kali hanya masuk sebetis. Tholib pun mengaku cuma mengungsi semalam. Tidak berhari-hari seperti pada banjir besar 2007 silam.  (Bersambung)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement