REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) R Priyono mengaku masih heran dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyetujui 'judicial review' pada UU Migas Nomor 22 tahun 2001 yang pada akhirnya membubarkan lembaga yang ia pimpin. "Sampai sekarang saya pertanyakan," katanya pada wartawan, Rabu (14/11).
Keheranan ini bukan tanpa dasar. Persoalannya, kata dia, seharusnya 'judicial review hanya sekali dilakukan.
"Kita kan sudah pernah dulu di judicial review saat zamannya MK di tangan Pak Jimly Assidiqie terkait domestik market obligation (DMO) dan harga kok sekarang di tangan Pak Mahfud di review lagi," katanya.
Meski demikian, ia mengaku pihaknya menerima saja apa yang sudah diputuskan MK. Ia menuturkan pihaknya manut saja pada hukum yang berlaku. "Ini kan sudah keputusan MK, jadi kita lakukan saja," tegasnya lagi.
Terkait kontrak dengan beberapa kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), ia mengatakan pihaknya juga mempertanyakan apakah kontrak ini bisa disebut sebagai produk ilegal atau tidak. Pasalnya, kata dia, logikanya ketika BP Migas dikatakan ilegal hasil yang dikeluarkan juga dinilai sama.
Ia mengatakan hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para investor migas di Indonesia. "Tapi mereka sepertinya masih 'wait and see.' Pasti 'takes times' untuk mereka menyesuaikan diri," katanya.
Sebelumnya Selasa (13/11) MK melalui sidang terbuka mengatakan BP Migas merupakan lembaga inkonstitusional. Semua pasal yang terkait berdirinya badan ini dianggap tak sesuai konstitusi UUD 1945.