Rabu 17 Oct 2012 08:46 WIB

Pers Indonesia Dinilai Masih Patriarki

Jurnalis (Ilustrasi)
Foto: IST
Jurnalis (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDARLAMPUNG -- Pengajar Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI), Saut Hutabarat, menilai pers Indonesia masih patriarki atau menempatkan laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Hal itu tercermin dalam produk jurnalistik.

Pers yang masih mengedepankan budaya patriarki itu, menurut Saur, di Bandarlampung, berakibat menimbulkan pemberitaan yang tidak berimbang. Sehingga maskulinitas masih mengemuka dan muncul dalam pemberitaan para wartawan.

Ia mencontohkan kecenderungan patriarki dalam pemberitaan itu. "PDI Perjuangan, misalnya ditulis, menjagokan Megawati menjadi Presiden RI. Kata jago itu sudah jelas kata-kata untuk laki-laki," kata dia di Bandarlampung, Rabu (17/10).

Contoh lainnya, masih kata Saut, pemerkosaan terhadap kaum perempuan masih ditulis 'menggagahi'.

Padahal, kata dia, tindakan pemerkosaan itu jelas dilakukan lelaki yang bertindak melanggar kesusilaan dan hukum.

"Penggunaan kata menggagahi jelas menghina kaum perempuan sebagai korban," tuturnya.

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Lampung menggelar SJI Nasional Angkatan II, 11-23 Oktober 2012. Kegiatan yang berlangsung di Balai Wartawan H Solfian Akhmad itu diikuti 36 jurnalis, yaitu 34 jurnalis laki-laki dan dua jurnalis perempuan.

"Kalau banyak laki laki begini jadinya tidak seimbang," ujar Saur seraya menjelaskan aturan kuota minimal keterwakilan perempuan dalam parlemen sebanyak 30 persen.

Pria kelahiran Jambi, 3 Januari 1953 itu mengharapkan dunia pers jangan hanya dikuasai para pria agar budaya patriarki tidak terus berlangsung. Ia menyarankan untuk pelaksanaan SJI mendatang dapat menambah jumlah peserta perempuan.

Namun selain patriarki, pers juga seringkali tidak menghormati hak asasi manusia (HAM). "Polisi menciduk Saut Hutabarat, emang gue apaan?" kata Saur mencontohkan penulisan berita yang tak sadar HAM itu, sehingga mengundang tawa peserta SJI tersebut.

Karena itu, dia mengingatkan agar jurnalis harus bergaul dan menggeluti pemikiran besar dengan cara membaca, guna meningkatkan pengetahuan sehingga mempunyai banyak sudut pandang untuk membuat berita termasuk menjadi sadar HAM dan tidak bias gender.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement