REPUBLIKA.CO.ID, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Terima kasih Bapak. Sebelum Kapolri, begini, ada ilustrasi lagi Pak ini. Ada seorang sakit, tahun 65, tahun 70 lah gitu, sudah sampai di sini, terus diperiksa oleh dokter harus diamputasi, supaya selamat. Setelah itu diamputasi. Nah, tahun 1995, 30 tahun kemudian, dengan pengacaranya, bukan maunya dia, diadukan karena kenapa harus dipotong, ternyata tidak harus dipotong, karena menurut teori itu begini, begini, begitu.
Nah teori itu kebetulan berkembang di tahun 1995, maka yang tidak logis apakah iya tahun 65 dipersalahkan karena memotong tangan yang menurut aturan waktu itu iya itu yang terbaik untuk keselamatan. Lha kalau sekarang berkembang kedokteran, kan itu sekarang tidak bisa begitu. Agak ekstrem analogi ini. Tetapi maksud saya, ketika harus melihat sesuatu dalam masa yang tidak mudah itu jangan dilihat ketika tenang-tenang saja, nggak ada apa-apa, seperti itu saya kira.
Menurut saya, ini bagian dari wisdom dalam arti yang positif, bukan supaya kita ini tidak, begini Pak, saya ini sebagai Bapak, sekarang SMS masuk tiap hari banyak Pak. Bapak belum tahu tiap hari itu saya menerima 500 SMS per day, rata-rata, bisa 700, bisa 300 sekian. Pernah saya baca satu per satu 459. Itu ada yang urusan korupsi harus habis-habisan, tapi ada kalau nanti nggak ada aturan, takut semua Pak, jadi lautan ketakutan nanti. Wah ini itu-ini itu, segala macam. Sebagai Bapak, kan saya harus memahami apa ini maksudnya.
Tapi point-nya adalah harus rasional tetap adil, kemudian common sense dan sebagainya. Sebab kalau tidak, nanti itu tadi, kita malah terus tidak menghadirkan ketenteraman. Mendengar semua tadi, saya lebih senang, ternyata cara pandang kita sama. Dan seelok-eloknya pencegahan memang, kalau korupsi itu.
Mungkin bisa saja ada orang baik-baik tiba-tiba keseleo, sudah 30 tahun baik-baik kok keseleo. Tapi kalau pencegahan itu berhasil, tidak akan banyak orang “kejeglong” seperti itu. Baik, selanjutnya Kapolri, silahkan. (bersambung)