Sabtu 21 Jul 2012 14:09 WIB

Menyusuri Ladang Ganja Tersembunyi di Aceh (Bag 4-habis)

Rep: Erdy Nasrul/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Tumbuhan Ganja (Canabis Sativa)
Tumbuhan Ganja (Canabis Sativa)

REPUBLIKA.CO.ID,

Propinsi Aceh seakan sulit dipisahkan dari tanaman ganja. Jika seseorang mengunjungi propinsi paling ujung barat itu, maka pasti dikhawatirkan, jangan-jangan ia pulang ke daerah asalnya nanti membawa ganja.

"Itu sudah menjadi gambaran umum masyarakat luas di Indonesia. Terus terang, saya prihatin," jelas Warga Banda Aceh, Rizal, kepada Republika Jumat (20/7). Dia mengaku kerap jadi obyek candaan ketika dirinya mendatangi Ibu Kota atau kota-kota lainnya. "Bawa ganja tidak?" tuturnya.

Meski, pertanyaan seperti itu dianggapnya tidak serius. Sekali terucap, setelah itu berlalu, tergantikan dengan obrolan lain.

Ganja baginya sudah bukan barang aneh. Tanaman itu, tambahnya, tumbuh sangat luas di perbukitan sekitar Aceh. Daerah tersebut ia anggat tidak terjangkau manusia dan membuat tanaman itu tumbuh subur. Tanaman tak tumbuh liar alias ada pemiliknya. Luasnya diprediksi mulai ratusan hingga ribuan hektar.

Rizal menjelaskan penanam ganja biasanya mendapatkan bibit secara diam-diam. Bibit tersebut disebar sebanyak mungkin di daerah terpencil. Sebulan kemudian sudah mulai tumbuh. Satu pohon yang tumbuh akan diletakkan didalam pot bunga kemudian dibawa ke rumah. "Setiap sekali dalam sebulan atau sekali dalam dua bulan pemilik akan ke ladang," jelasnya.

Kalau sudah enam bulan, ganja kemudian dipanen. Proses berikutnya adalah pengeringan, kemudian dipadatkan. Ganja kemudian dibuat paketan per kilogram. Paketan tersebut kemudian dikirim melalui jalur darat, laut, dan udara, ke pulau-pulau yang ada di Indonesia. Negara-negara yang berdekatan dengan Aceh pun menjadi sasaran penyelundupan ganja ini.

Sari ganja kerap diekstrak secara ilegal untuk membuat kopi oplosan dan dodol. "Keduanya memabukkan," jelasnya. Kalau ingin menikmati, minuman dan makanan itu harus dipesan dulu. Sekitar 24 jam kemudian baru siap dikonsumsi.

Sumber Biaya GAM

Kapolda Aceh, Inspektur Jenderal Iskandar Hasan, saat dihubungi, mengatakan ganja di Aceh diselundupkan ke luar negeri, seperti Filipina, Malaysia, Thailand, dan sekitarnya. Dari negara tersebut, ganja tersebut menyebar lebih luas ke berbagai benua.

Pada saat Aceh mengalami konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia, ganja dijual ke luar negeri untuk mendapatkan penghasilan tambahan. "Penjualannya bersamaan dengan pembelian senjata api ilegal dari Kamboja," jelas Iskandar. Senjata api seperti AK 45, AK 56, bahkan RPG, dibeli masyarakat melalui jalur laut.

Ceritanya, jelas Iskandar, ada satu orang yang ingin membeli senjata melalui jalur laut. Kemudian adalagi satu orang yang ingin menjualkan ganja. Penjual ganja ini memang spesialis, khusus mengurusi masalah penjualan ganja ke luar negeri. "Jadi bukan mendapatkan senjata dengan menukar ganja," imbuhnya.

Uang hasil penjualan ganja kemudian dikumpulkan. Mereka bekerja dengan rapih. Ada yang menjadi bendahara. Ada juga pengendali anak buah. Iskandar menilai kinerja mereka sistematis, terukur, sehingga sering lolos dari pantauan aparat.

Ketika dibawa ke luar negeri, ganja dibungkus plastik anti air. Kemudian diletakkan dibalik kapal dalam kondisi terikat. Ganja tersebut tenggelam dalam air. Aparat dinilai Iskandar kesulitan menemukannya. Tempat yang sama juga dimanfaatkan untuk menyembunyikan senjata api dari luar negeri. "Cara ini sering dipakai sebagaimana dilaporkan Interpol," imbuhnya.

Iskandar mengatakan sindikat seperti itu kini enggan untuk terus menerus menjual ganja. "Mereka juga mengikuti jenis narkoba yang paling diminati," jelasnya. Saat ini sindikat banyak juga yang memainkan sabu, karena harganya dan keuntungannya yang tinggi. Jika satu kilogram sabu dijual eceran maka tidak kurang dari Rp 2 miliar dikantongi. Padahal, harga per kilogram sabu di Iran, hanya sekitar Rp 100 juta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement