Rabu 27 Jun 2012 11:25 WIB

Inilah Empat Faktor Rendahnya Elektabilitas Partai Islam

Rep: Mansyur Faqih/ Red: Heri Ruslan
sekjend PPP  M Romahurmuziy
Foto: entbluextv.com
sekjend PPP M Romahurmuziy

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP), M Romahurmuziy (Romi) rendahnya elektabilitas partai Islam merupakan pernyataan yang tak tepat. Alasannya, masalah yang ada bukan Islam atau tidak, tapi masalah partai menengah.

Menurutnya, hal itu disebabkan oleh empat hal. Pertama, karena relatif lemah dalam kemampuan memunculkan pemimpin nasional yang berkarakter kuat.

''Partai-partai menengah, termasuk PPP, belum memiliki figur yang memiliki jam terbang politik yang memadai dibandingkan dengan partai-partai papan atas,'' katanya kepada wartawan, Rabu (27/6).

Partai papan atas, lanjut dia, dipimpin oleh politisi dengan jam terbang lebih dari tiga pemilu. Sementara, 59 persen masyarakat yang berpendidikan rendah (tidak lulus SD, lulus SD dan SMP), umumnya menilai partai dari karakter figur pemimpinnya.

Sehingga, partai papan atas diuntungkan oleh kuatnya karakter dan tingginya jam terbang pemimpinnya. Jadi, alih-alih menjadi persoalan, lambatnya regenerasi kepemimpinan dalam partai ternyata justru menjadi faktor yang menguntungkan dalam hal elektabilitas.

Kedua, paparnya, karena posisi minoritasnya di parlemen. Partai-partai menengah yang tidak kunjung bersatu, kurang mampu tampil menjadi penggerak manuver politik di tingkat nasional.

''Ketiga, karena demokrasi subtansial, dibajak oleh demokrasi prosedural yang didominasi kosmetika pencitraan yang berbiaya tinggi. Akibatnya, partai menengah yang relatif terbatas aksesnya pada sumber-sumber keuangan, secara faktual frekuensi penampilannya di media jauh lebih rendah dibandingkan partai papan atas,'' papar Ketua Komisi IV DPR tersebut.

Ke empat, tambahnya, karena diberikannya ruang yang dominan di media massa atas tampilnya pemikir, pengamat, dan akademisi yang berorientasi politik sekuler. Sedikit banyak, lontaran-lontaran pemikirannya membentuk opini publik khususnya di kalangan menengah ke atas.

Yang umumnya kelas menengah itu juga pada gilirannya berperan sebagai pembuat opini lokal. ''Namun, terlepas dari motif dan momentumnya, masukan dari berbagai survei, tetap kita jadikan sebagai masukan untuk perbaikan kinerja ke depan,'' pungkas Romi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement