REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi dinilai tidak memilki wewenang untuk mengadili perkara permohonan uji materi pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Permohonan uji materi atas beleid tersebut dinilai lebih bersifat normatif ketimbang konstitusional.
Direktur Ligitasi Kemenkumham, Mualimin Abdi, mengungkapkan asas normatif dalam beleid tersebut terdapat pada pidana minimal yang dijatuhkan kepada pemohon sebagai alasan pemohon untuk melakukan gugatan. Pemohon merasa pidana yang didapatkan tidak sesuai dengan peran pemohon.
"Sehingga telah jelas bahwa sebenarnya tidak ada dan atau bukan kewenangan MK untuk memeriksa permohonan a quo,"ungkap Mualimin dalam sidang MK, Kamis (7/6).
Menurutnya, pasal 24C UUD 1945 sudah menjelaskan hal tersebut. Yakni Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
"Sehingga, pemerintah memohon kepada majelis hakim untuk menyatakan bahwa MK tidak berwenang memeriksa perkara a quo," ujarnya.
Sementara itu, penasihat hukum pemohon, Abel Rumbiak, menegaskan upaya uji materi tersebut tidak akan berpengaruh terhadap vonis yang sudah dijatuhkan Mahkamah Agung kepada kliennya, Herlina Koibur.
Menurutnya, upaya tersebut dilakukan untuk mencari rasa keadilan yang dirasa hilang saat menjalani persidangan di pengadilan umum.
Meski demikian, jika putusan MK mengabulkan permohonannya, Abel mengaku akan membawa putusan tersebut sebagai pertimbangan kliennya untuk mengajukan upaya hukum selanjutnya.
"Tidak akan berpengaruh pada vonis klien saya. Tapi kalau dikabulkan akan kita bawa sebagai bahan pertimbangan untuk PK," ujarnya.