REPUBLIKA.CO.ID, NUNUKAN -- Kehidupan masyarakat perbatasan di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, sampai saat ini masih sangat tergantung pada negeri tetangga Malaysia.
"Ketergantungan itu antara lain terlihat dalam pemenuhan kebutuhan pokok yang dikonsumsi setiap harinya, hampir seluruhnya merupakan produk asal Malaysia," kata Sannari, seorang warga perbatasan di Ajikuning, Kecamatan Sebatik Utara, Kabupaten Nunukan, Senin.
Menurut Sannari, kondisi itu masih sulit dihindari mengingat masyarakat Pulau Sebatik dan Kabupaten Nunukan secara umum, suplai sembako masih tergantung dari Malaysia, karena sulitnya mendapatkan produk kebutuhan sehari-hari asal Indonesia. Selain mudah mendapatkannya juga harganya lebih murah daripada produk asal Indonesia.
Misalnya, gula pasir yang merupakan kebutuhan sehari-hari masyarakat, harganya di Malaysia hanya RM 2.20 atau Rp6.600 (RM 1 = Rp3.000) per kg.
Sementara harga gula pasir asal Indonesia harganya mencapai Rp11.000 sampai Rp12.000 per kg bahkan lebih dari itu. Selain itu, untuk mendapatkan produk asal Indonesia sangat sulit karena hanya ada di Kota Tarakan.
Bukan hanya sembako yang diperoleh dari Malaysia, Sannari yang mengaku berasal dari Kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan itu menambahkan juga bahan bangunan seperti batu gunung, kerikil, semen, dan lain-lainnya semuanya berasal dari Malaysia.
Oleh karena itu, ketergantungan dengan negeri jiran Malaysia sangat sulit dihindari.
"Kalau dibilang masyarakat perbatasan di Pulau Sebatik ini menggantungkan hidupnya di Malaysia memang iya. Kalau tidak begitu mau makan apa kita di sini (Pulau Sebatik)," ujar Sannari.
Dia mengatakan kemudahan mendapatkan sembako atau kebutuhan lainnya di Malaysia, karena masyarakat perbatasan di Pulau Sebatik hampir setiap harinya menyeberang ke Tawau, Malaysia, untuk berbelanja. "Masyarakat di sini setiap hari ke Tawau, karena jangkauannya dekat hanya 15 menit sudah sampai di sana (Tawau)," katanya.