REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kaum intelektual dinilai telah berperan dalam terjadinya korupsi di pemerintahan. Dalam banyak kasus, kaum intelektual itu terlibat dalam pemberian formulasi kebijakan yang bertujuan untuk membenarkan adanya praktik korupsi.
"Kelompok intelektual kebanyakan tidak menjawab persoalan tetapi mereka justru menjadi bagian dari persoalan," kata sosiolog dari Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi, dalam diskusi 'Dilema Good Governance dalam Politik Lokal' di Jakarta, Jumat (25/5).
Airlangga mengatakan, para kaum intelektual ini terkadang ditempatkan sebagai 'pemanis'. Maksudnya, kata dia, kehadiran kaum intelektual itu untuk memberikan pembenaran terhadap kebijakan yang koruptif dari pemerintah.
"Misalnya saja dalam kasus kalangan intelektual itu terlibat dalam konsultasi untuk mendesain kecurangan-kecurangan terhadap pilkada," katanya.
Padahal dalam banyak penilaian, kata Airlangga, para kaum intelektual ini telah ditempatkan sebagai kelompok yang apolitis. "Tapi sekarang ini mereka (kaum intelektual) telah menjadi bagian dari aktor di balik pertarungan elite-elite politik lokal," ujar kandidat doktor dari Murdoch University ini.
Namun demikian ia lekas menegaskan bahwa perilaku semacam ini tidak terjadi dii seluruh kaum intelektual. "Tapi memang ada tendensi atau kecenderungan ke sana," ujarnya.
Airlangga juga tak menampik jika perilaku menyimpang dari kaum intelektual ini tercermin dari maraknya lembaga survei yang bisa 'dipesan'. Tapi ia tetap menegaskan, "tentunya memang harus ada keberpihakan terhadap intelektualitas yang mereka miliki."
Meski mengkritik kalangan sendiri namun ia juga tak lupa menyampaikan pandangan kritisnya terhadap pelaksanaan good governance. Airlangga mengatakan, jargon good governance selama ini masih sebatas retorika para elite politik.
"Saya masih belum melihat good governance ini dijadikan sebagai agenda untuk pembenahan tata kelola yang lebih baik," ujarnya.