Selasa 08 May 2012 16:13 WIB

Pengusaha Dihantui Biaya Siluman

Rep: Dwi Murdaningsih/ Red: Dewi Mardiani
Jembatan timbang terindikasi menjadi tempat paling rawan suap, pemerasan dan pungutan liar.
Foto: Antara
Jembatan timbang terindikasi menjadi tempat paling rawan suap, pemerasan dan pungutan liar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Ekonomi biaya tinggi mempengaruhi dunia usaha dan tenaga kerja. Menurut anggota Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi Kamar Dagang Indonesia (Kadin), Ina Primiana, pengusaha terbebani dengan maraknya penghambat bisnis di Indonesia.

Ia menuturkan, pengusaha mengeluarkan banyak biaya untuk mempercepat usaha. Biaya itu, kebanyakan terdiri dari bermacam pungutan, baik resmi maupun tidak resmi alias biaya 'siluman'. Ia mengatakan, dalam rantai distribusi, pengusaha kebanyakan harus membayar biaya retribusi yang dikenakan pada masing-masing daerah yang dilalui. “Ekonomi biaya tinggi merupakan biaya tidak terkontrol yang besarnya bisa mencapai 20-30 persen dari biaya ekonomi,” ujar Ina, Selasa (8/5).

Biaya tinggi itu, kata Ina juga termasuk uang pelicin agar perizinan menjadi lebih mudah. Biaya-biaya ini harus ditanggung pengusaha sejak hulu hingga hilir. Dalam jangka panjang, biaya ini akan menjadi bumerang bagi Indonesia. Ina menuturkan, biaya tinggi menyebabkan harga menjadi tidak kompetitif. Akibatnya, Indonesia bisa jadi dihantam dengan banyaknya barang-barang impor. “Tidak berdaya saing, akibatnya kita kebanjiran barang-barang impor,” kata Ina.

Berdasarkan laporan survei Wolrd Economic Forum (WEF), 15 persen responden mengatakan korupsi atau pungutan-pugitan liar menduduki peringkat pertama yang menjadi kendala di Indonesia. Birokrasi pemerintah yang tidak efisien menduduki posisi kedua yang menghambat. Hal itu menyebabkan pengusaha terpaksa menggunakan jasa broker dan harus membayar biaya pungutan liar agar lebih mudah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement