REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Akbar Wijaya
Sepanjang perjalanan hidupnya, mantan Presiden Sukarno dikenal dekat dengan banyak wanita. Sejarah mencatat dialah Presiden Indonesia yang memiliki istri paling banyak: sembilan orang. Sebagai seorang laki-laki, Sukarno memang memiliki modal ideal untuk digandrungi kaum hawa: dia cerdas, relatif tampan, dan kerap berdandan flamboyan.
Selain itu, Sukarno juga pribadi yang romantis. Dia tak sungkan mengambilkan segelas air putih untuk wanita yang terlihat kelelahan setelah menari. Dia mencarikan sendiri kursi untuk wanita yang tampak kebingungan mencari duduk dalam acara kenegaraan. Singkat kata, Sukarno tahu betul cara menaklukan hati wanita lewat hal-hal sederhana.
Kepada Cindy Adam’s, penulis autobiografinya, Sukarno blak-blakan mengaku jika wanita cantik merupakan salah satu sumber semangatnya. Dia merasa lebih sehat dan lebih bertenaga saat bekerja bila di sekitarnya ada wanita cantik. Bagi Sukarno wanita catik tak ubahnya kembang yang sedang mekar. “Dan aku senang memandangi kembang,” kata Sukarno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.
Namun, dari sekian banyak wanita yang datang dan pergi dalam kehidupan Sukarno, siapakah sebenarnya wanita pertama yang berhasil membangkitkan getaran cinta di hati Sukarno? Dialah Rika Mellhuysen, gadis bule Belanda yang menjadi teman sekolah Sukarno di Europeesche Lagere School, Mojokerto, Jawa Timur. Rika adalah gadis pertama yang dicium Sukarno. Sukarno jatuh hati pada Rika ketika dia menginjak usia 14 tahun.
Kendati terkesan masih bau kencur, tampaknya Sukarno sudah menyadari betul istilah “cinta adalah pengorbanan”. Demi mendapat hati wanita pujaannya beragam cara dilakukan Sukarno. “Aku membawakan buku bukunya. Aku dengan sengaja berjalan melalui rumahnya, karena mengharapkan sekilas pandang dari dia. Aduh, aku mencintai gadis itu mati?matian,” kenang Sukarno.
Tapi malang bagi Sukarno, rasa cintanya kepada Rika harus dia sembunyikan. Hal ini lantaran rasa takutnya kepada orang tua, terutama sang ayah Raden Soekemi Sosrodihardjo. Dalam benak Sukarno, sang ayah pasti tidak akan setuju bila anaknya menjalin hubungan dekat dengan seorang anak gadis dari bangsa penjajah. “Cintaku ini kusimpan dalam kalbuku sendiri, karena takut ketahuan oleh orangtuaku,” ujar Sukarno.
Sesekali waktu, dalam kekalutan dan kegamangan perasaannya, terlintas dalam pikiran Sukarno untuk berterus terang saja kepada orang tuanya. Namun lucunya, saban kali dia hendak mengutarakan perasaaanya, saban kali itu pula dia gagal memberikan penjelasan. Sukarno mengaku ketakutannya terhadap kemarahan sang ayah kerap membuat kata-kata yang akan dia sampaikan membeku di kerongkongan.
Pada suatu sore, jalan takdir membawa cerita lain pada kegamangan cinta Sukarno dan Rika. Saat itu keduanya tengah asik berboncengan sepeda mengelilingi kampung. Sampai di sebuah tikungan tiba-tiba sepeda yang dibawa Sukarno menabrak seseorang. Sukarno dan Rika jatuh bersamaan. Namun, bukan sakit lantaran jatuh dari sepeda yang membuat Sukarno shock. Melainkan karena orang yang dia tabrak tak lain adalah Soekemi, ayahnya sendiri. “Aku mulai menggigil karena takut,” kata Sukarno.
Tahu anaknya bermain mata dengan anak gadis Belanda, Soekemi pergi meninggalkan Sukarno. Sikap dingin Soukemi tak ayal membuat nyali Sukarno kecut untuk segera pulang. Sejam kemudian, setelah mengumpulkan keberanian, barulah Sukarno pulang. Mengendap-endap dia masuk ke rumah agar tak mengundang perhatian ayahnya. Sampai akhirnya suara panggilan Soekemi membuyarkan segala usahanya.
Dengan batin yang terguncang Sukarno menghadap ayahnya. Dia sudah pasrah untuk menerima kemarahan dan hukuman dari sang ayah. Namun ketakutan yang dibayangkan Sukarno ternyata salah. Soekemi sama sekali tidak memarahinya. Sebaliknya, Soekemi justru malah mendukung Sukarno berteman dengan anak gadis Belanda. Soekemi beralasan berteman dengan seorang anak Belanda akan bisa memperbaiki Bahasa Belanda Sukarno yang masih buruk.
“Nak, jangan kau takut tentang perasaanku terhadap teman perempuanmu itu. Itu baik sekali. Pendeknya, hanya dengan jalan itu engkau dapat memperbaiki bahasa Belandarnu!”
Tak jelas bagaimana akhirnya kisah asmara antara Sukarno dengan Rika. Agaknya keduanya berpisah setelah Sukarno lulus dari ELS dan dipindahkan ayahnya ke Surabaya untuk melanjutkan studi di Hogere Burger School.