Jumat 16 Mar 2012 17:43 WIB

Pahami Aku dan Pahamkan Kepadaku

Ilustrasi
Foto: discoverlight
Ilustrasi

Kala itu seorang anak, pendatang baru di kota yang sebenarnya sudah tidak asing baginya, duduk termenung di sudut sebuah masjid. Perlahan ia melangkah menuju parkir motor, tertunduk lesu seolah “jiwa”-nya telah terampas. Beberapa menit kemudian, ia telah pergi meninggalkan masjid itu. Apa yang terjadi padanya?

***

Beberapa hari yang lalu, ia merasa bahagia. Nampak keceriaan di wajahnya, semangatnya pun begitu terpancar dan menulari orang-orang di sekitarnya. Bagaimana tidak? Baru beberapa pekan ia tergabung dalam sebuah organisasi, tapi ia sudah akan dikaryakan bersama teman-temannya. Membuat mading secara berkelompok.

Ia dan kelompoknya ditugaskan membuat mading dengan tema jilbab. Setelah pembagian tugas, mereka pun mulai mengumpulkan bahan. Ia bertugas menggambar contoh jilbab syar’i dan yang belum syar’i. Sedangkan, teman-temannya yang mencari artikel maupun mengumpulkan dalil terkait kewajiban berjilbab.

Tak lama setelah tiba di kamar kosnya, ia telah tenggelam dalam dunianya. Dengan beberapa lembar kertas, penghapus, maupun spidol ia menggambar ditemani pensil kesayangannya. Beberapa kali terlukis senyum di wajahnya, begitu indah. Sesekali gurat keseriusan hadir, perubahan mimik wajah yang lucu.

20 menit, 60 menit,dan 90 menit pun tanpa terasa telah berlalu. Tugasnya telah selesai. Matanya berbinar, senyum indah itu tak lepas dari wajahnya. Nampak kepuasan batin yang ia rasakan. Kebahagiaannya, rencana hebatnya, yang kemudian hanya tinggal kenangan pahit.

***

Tibalah saat baginya dan kelompoknya berkumpul menyempurnakan mading mereka. Tak jauh dari lokasi mereka, tercium bau kertas terbakar. Ya, membakar kertas memang sudah menjadi salah satu hal yang biasa baginya ketika membuat mading.

Celoteh dan tawa mereka memecah keheningan di siang itu. Ternyata, tak beberapa lama kemudian kegiatan mereka menarik perhatian beberapa senior. Alhasil para senior pun hanyut dalam suasana hangat tersebut.

Setelah mading dirasa sudah sesuai dengan rencana, akhirnya mereka pun berbenah dan pulang. Keesokan harinya, terlihat semua mading dari berbagai kelompok telah terpasang. Teman-teman menyukai gambarnya. Ia pun bertekad untuk terus belajar menggambar. Memperindah gambarnya, melukis senyum pada wajah setiap orang yang melihat gambarnya.

Namun beberapa hari kemudian, gambar perempuan berjilbab itu kini tampak tanpa kepala. Ada yang sengaja menyobek bagian itu. Hatinya memang hancur. Ia berusaha tetap berpikiran positif. “Mungkin ada orang lain dalam organisasinya yang beranggapan bahwa menggambar diperbolehkan asalkan tidak ada kepalanya,” pikirnya sembari terus berusaha menenangkan hatinya.

Beberapa hari setelah kejadian itu, ia kembali. Melanjutkan membaca mading yang dibuat oleh kelompok lain. Akan tetapi, apa yang ia temukan? Gambarnya yang sebelumnya tanpa kepala, kini habis tak tersisa. “Apa aku telah salah menggambar? Apa Islam tidak membolehkan menggambar? Kalau begitu, mengapa aku diajari menggambar ketika sekolah?”

Ia segera beranjak ke luar ruangan itu, menuju sudut sebuah masjid. Menenangkan diri. Terdiam, tapi pikirannya berjalan entah kemana. Hatinya terluka. Tak beberapa lama kemudian, ia berjalan menuju motornya. “Ya, mungkin aku tidak usah menggambar lagi.”

Tidak sedikit orang yang hanya sebatas memberitahu, tanpa mau memahamkan kepada orang lain. Mereka terkadang lupa tentang pentingnya komunikasi dan memahami orang lain.

Wening Mulat Asih

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement