REPUBLIKA.CO.ID, Yogyakarta -- Dalam kondisi bencana alam, media memiliki peran strategis dalam menyambung lidah masyarakat dengan pemerintah. Sebab, informasi dari pemerintah terkait bencana sering tidak diterima oleh masyarakat.
Padahal, dalam keadaan bencana, masyarakatlah yang menjadi korban terbesar dari aktifitas tak terduga alam ini. Dalam lokakarya 'Jurnalisme Kebencanaan untuk Redaktur' anggota Jaringan Lintas (Jalin) Merapi, Sukiman, mengungkapkan, bahasa pemerintah pada korban bencana membuat korban justru ketakutan. Misalnya, dalam kasus erupsi gunung Merapi, kata 'relokasi' dan 'evakuasi' menjadi kata yang menakutkan.
"Jika kata itu dipahamkan kepada korban Merapi, mereka bukan saja mau dipindah, tapi justru pindah dengan sendirinya," katanya, Rabu (14/3).
Lebih lanjut, Sukiman mengatakan, disinilah posisi media. Mereka harus mampu membahasakan maksud pemerintah agar korban dan penduduk di wilayah rawan bencana segera pindah dengan sendirinya. Hal itu, katanya, hingga saat ini belum mampu dijalankan oleh media. Sukiman yang juga tinggal 4 km dari puncak Merapi mengungkapkan, dirinya juga termasuk orang yang merasa kuatir mendengar kata 'relokasi' dan 'evakuasi'.
Ketua Tim Pendukung Teknis (TPT) Rehab-Rekon Merapi, Soetrisno mengatakan, saat ini masalah pemindahan masyarakat di wilayah rawan pasca erupsi gunung Merapi masih mengalami kendala. Pasalnya, beberapa daerah di wilayah Sleman dan Klaten masih belum bersedia dipindahkan dari daerah rawan bencana.
Dalam catatan Soetrisno, masih ada empat wilayah yang belum bersedia dipindah dari tempat asal mereka, antara lain, Srunen, Kali Tengah Lor, Kali Tengah Kidul (Sleman), dan Balerante (Klaten). Untuk wilayah tersebut, kata Soetrisno, pihaknya masih berupaya untuk membuat masyarakat sadar akan bahaya yang mengancam kehidupan mereka.
"DIY masih ada 629 KK, Jateng 156 KK yang belum bersedia direlokasi," terangnya usai memberi materi dalam lokakarya.
Selain masalah kebersediaan masyarakat untuk relokasi, Soetrisno menambahkan, juga ada masalah di dalam penyediaan lahan untuk membangun hunian tetap bagi masyarakat yang akan direlokasi. Namun, masalah tersebut tidak mengacu pada luas dan pembebasan lahan, tapi lebih pada keinginan masyarakat yang ingin direlokasi namun masih ingin berdekatan dengan komuniutas mereka.
Mereka lebih menginginkan jika pindah harus tetap bertetangga satu wilayah dengan tetangga mereka, kata Soetrisno. Saat ini, dana untuk program relokasi sebesar 1,3 Triliun sudah cair sebanyak 50 persen. dana itu akan digunakan untuk membangun huntap bagi masyarakat yang dipindah.