REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Sebagian perusahaan media seringkali tidak merespon kasus kekerasan yang menimpa wartawannya. Hal itu disebabkan tidak adanya pedoman perlindungan terhadap wartawan sendiri, kata Ketua Dewan Pers Bagir Manan.
Media, menurut Bagir, bahkan lebih sering mengandalkan pihak lain seperti Dewan Pers, asosiasi profesi, kepolisian, ataupun lembaga bantuan hukum untuk menyelesaikan kasus kekerasan yang dialami wartawannya.
"Jika wartawan mengalami kekerasan, penanganannya seringkali berbeda karena kelembagaan media di mana wartawan bekerja berbeda," kata Bagir Manan, dalam diskusi media di Jakarta, Rabu.
Pembicara lainnya, Kepala Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Aryo Wisanggeni G, menyebut sejumlah faktor pemicu kekerasan terhadap jurnalis seperti pemberitaan yang kritis dan mengancam penguasa, pemberitaan yang tidak netral, ataupun ketidaktahuan publik tentang mekanisme penyelesaian sengketa pers.
"AJI memberikan advokasi hanya pada kasus kekerasan terkait langsung dengan tugas jurnalistik korban," kata Aryo.
Pada kesempatan itu juga, Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri, Boy Rafli Amar, mengemukakan polisi berpedoman pada Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP terkait kasus kekerasan yang terjadi terhadap wartawan.
Mengenai penyalahgunaan profesi jurnalis, penyidik kepolisian berpedoman pada nota kesepahaman antara Polri dan Dewan Pers tentang koordinasi dalam penegakan hukum dan perlindungan kemerdekaan pers.
"Implementasi dari nota kesepahaman itu, apabila penyidik Polri menerima laporan dan atau pengaduan dari masyarakat terkait karya jurnalistik maka tindakan penyidikan terhadap wartawan atau jurnalis dilakukan setelah menerima saran dari Dewan Pers," kata Boy.