REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Radikalisme agama yang terjadi belakangan ini di Indonesia dinilai akan hilang jika hukum benar-benar ditegakkan. Hal itu diungkapkan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafi'i Maarif.
"Kalau aparat menjalankan (menegakkan hukum) dengan benar, radikalisme 'ga' jalan," katanya di Jakarta, Selasa (21/2).
Menurut dia, seringkali hukum dipermainkan aparat penegak hukum, sehingga radikalisme agama menemukan alasan untuk berjalan. "Ini kalau masalah nahi mungkar (mencegah perbuatan buruk) aparat bergerak ini tidak akan berlanjut. Seringkali ada ungkapan maling dengan aparatnya sudah bersahabat, ya ini susah," katanya.
Ia mencontohkan, banyaknya peredaran narkotika di masyarakat. Bahkan dikonsumsi oleh para pilot yang menerbangkan pesawat. Hal ini akan menjadikan alasan moral bagi gerakan radikalisme agama.
Selain itu, ia menengarai hal ini juga merupakan akibat dari kurangnya lapangan kerja yang tersedia. "Ini masalah lapangan kerja yang terbatas, sehingga politik dan kekerasan menjadi mata pencaharian," katanya.
Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, bahwa gerakan radikalisme agama yang melakukan kekerasan itu merupakan minoritas. Mayoritas arus utama gerakan agama di Indonesia adalah moderat. Namun demikian, meski minoritas, gerakan ini memang lebih vokal dan radikal dalam menyampaikan aspirasinya.
Untuk mengikis pertumbuhan gerakan ini, menurut dia, kemampuan masyarakat dalam membentuk jaringan untuk menolaknya perlu ditingkatkan.
"Seringkali perlawanan ini tidak menjadi jaringan yang luas, akhirnya kelompok berlabel agama dengan kekerasan kemudian merasa menjadi kuat dan bereproduksi (mengembangkan diri)," katanya.