REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai mengatakan, masjid-masjid yang terletak di gedung negara saat ini dijadikan tempat penyebaran ajaran radikal atau garis keras yang berpotensi menjadi bibit terorisme.
"Para pengisi khotbah dan pengajian di masjid-masjid itu sekarang mengajarkan ajaran radikal kepada para jamaah. Hal ini terjadi karena ulama moderat sudah tidak lagi berada di situ," kata Ansyaad di Jakarta, Rabu (25/1).
Para ulama yang beraliran radikal itu, menurut Ansyaad, pada mulanya mendekati pengurus masjid atau mushala di gedung-gedung negara sehingga mereka bisa mengatur siapa yang menjadi imam dan da'i di tempat itu.
"Kami meminta kepada organisasi masyarakat sipil untuk meneliti masjid mana saja yang dijadikan tempat untuk mengajarkan aliran garis keras itu," kata Ansyaad pada saat menjadi pembicara pada seminar bertema 'Dari Radikalisme ke Terorisme, Memperluas Spektrum Deradikalisasi Dalam Mengokohkan Empat Pilar Kehidupan Berbangsa' yang diadakan oleh SETARA Institute.
Ansyaad kemudian memaparkan empat strategi dalam menangkal ajaran aliran garis keras yang menurut dia berpotensi berkembang menjadi terorisme.
"Strategi pertama adalah mendayagunakan kelompok Islam beraliran moderat. Mereka selalu mengklaim sebagai mayoritas namun tidak pernah punya kekuatan yang signifikan karena nihil jaringan dan dana," kata dia.
Kelompok moderat ini, menurut Ansyaad, mulai turun ke masjid-masjid untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang perspektif lain soal Islam.
"Strategi kedua adalah dengan memberi saluran politik yang normal pada kelompok radikal ini sehingga aspirasi mereka diketahui publik secara luas," kata dia.
Menurut Ansyaad, saluran politik normal akan membuat setiap pernyataan dari ulama radikal harus bisa dipertanggungjawabkan di depan publik, selain itu juga untuk meminimalkan potensi perkembangan radikalisme menjadi terorisme.
Dia kemudian mencontohkan bagaimana Ikhwanul Muslimin di Mesir yang beraliran radikal tidak menjadi organisasi teroris karena menjadi partai politik, bahkan yang terbesar di negara Timur Tengah itu.
"Yang ketiga adalah membuat payung hukum yang memungkinkan aparatnya menindak ulama yang mengajarkan kekerasan," kata dia.
Menurut dia, ini adalah elemen yang sangat penting dalam penanggulangan terorisme di wilayah hulu. Di negara lain seperti Malaysia, hukum seperti ini sudah ada, dan aturan ini pula yang menyebabkan Abu Bakar Baasyir tidak berkembang di negeri jiran itu.
"Strategi terakhir adalah dialog dan saling pemahaman antara kelompok-kelompok dalam Islam, baik itu yang radikal, moderat, ataupun liberal," kata Ansyaad.
Saling memahami itu penting, karena menurut Ansyaad, hampir semua orang tidak tahu jika pernyataan seorang pejabat publik bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati membuat kelompok radikal juga bereaksi sama dengan menyatakan bahwa syariat Islam sudah tidak bisa ditawar lagi.
"Akhirnya saya katakan sama mereka (kelompok radikal) bahwa NKRI bukan harga mati, tapi anda juga harus bersikap sama dan tolong jangan pernah menggunakan kekerasan lagi," tuturnya.