REPUBLIKA.CO.ID, MESUJI -- Warga pengungsi di kawasan Register 45 Tuguroda Desa Pekat Jaya, Mesuji, Lampung, mengaku trauma dengan kondisi di bawah tekanan aparat pengamanan beberapa waktu lalu.
"Saya rasanya sudah tidak ingin lagi diajak-ajak masuk ke kawasan itu lagi, masih sangat kuat ingatan saya bagaimana petugas mengintimidasi kami," kata Kartini salah satu warga pengungsi kawasan Register 45, di Mesuji, Kamis (5/1).
Kartini mengakui keberadaannya di kawasan itu karena tergiur tawaran mendapatkan sebidang tanah dengan membayar sejumlah uang kepada oknum tokoh adat di sana.
"Kami memang diberitahu, bahwa tanah itu adalah milik adat, yang kepemilikannya harus diperjuangkan," katanya. Dia sendiri telah mengelola lahan register 45 seluas 1,5 hektare selama tiga tahun. Lahan tersebut dimanfaatkannya untuk ditanami singkong.
"Kami telah mengalami pengusiran sebanyak dua kali, pengusiran pertama kami sempat melawan dengan melakukan blokade jalan lintas timur Sumatera, hingga menimbulkan kemacetan panjang," ujarnya. Aksi itu, menurutnya telah berhasil menghasilkan kesepakatan, bahwa warga diberi waktu selama enam bulan untuk memetik hasil panen singkongnya.
"Namun, masih beberapa bulan kami kembali didatangi aparat kepolisian dan pamswakarsa yang menanyakan kapan lahan itu akan segera dikosongkan, jujur saja kami tidak takut dengan orangnya, tapi kami takut dengan seragam dan senjata yang digunakan saat menemui kami," ujarnya. Terakhir, penggusuran dilakukan di bulan November 2011, warga digusur secara paksa dan seluruh tanaman yang sebelumnya dijanjikan boleh diambil hasilnya justru didapati warga dalam kondisi membusuk.
"Saya menangis melihat tanaman yang telah dipelihara untuk memenuhi kebutuhan hidup justru dirusak," kata Kartini. Sejak beberapa bulan lalu ia dan 10 keluarga lainnya berada di pengungsian kawasan Moromoro Mesuji. Di sana, dirinya mendapat dukungan dari warga setempat untuk tidak kembali lagi mengikuti rekan lainnya yang membuka tenda di Tuguroda Desa Pekatjaya Mesuji.
"Sudah empat bulan kami mengungsi, tadinya ada 300-an KK, tapi sebagian sudah ada yang kembali ke daerah asal dan sebagian membuka tenda di Tuguroda," ujarnya. Meskipun telah berbulan-bulan, dia mengaku hingga saat ini belum mendapat bantuan dari pemerintah daerah setempat.