REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah belum mengambil tindakan untuk mencari fakta pasca bentrokan yang terjadi di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.
Belum ada tim khusus pencari fakta yang dikirimkan ke sana. "Belum ada keputusan. Masih harus ada rapat-rapat koordinasi terlebih dahulu," kata Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (Dirjen HAM) Kemenkumham, Harkristuti Harkrisnowo, Senin (26/12) pagi.
Namun demikian, lanjut Harkristuti, pihaknya pasti ikut ambil bagian dalam bentrokan yang menimbulkan korban jiwa itu. Paling tidak, akan ada kajian yang dilakukan terkait dengan penyebab bentrokan tersebut. "Ya, kita pasti ikut ambil bagian. Tapi untuk saat ini masalah hukumnya kita tunggu keputusan dari Polri," katanya.
Pada 24 Desember 2011, aparat Polres Bima yang didukung Satuan Brigade Mobil (Brimob) Polda NTB dan satuan TNI serta aparat terkait lainnya, membubarkan paksa aksi unjuk rasa ribuan warga disertai blokade ruas jalan menuju Pelabuhan Sape, yang telah berlangsung sejak 19 Desember 2011.
Pelabuhan Sape berlokasi di Kecamatan Sape, namun warga pengunjuk rasa yang menguasai kawasan itu merupakan penduduk Kecamatan Lambu, yang melakukan aksi protes terhadap usaha penambangan di wilayah Lambu.
Polisi menggempur pengunjuk rasa dengan tembakan hingga dua orang dilaporkan tewas terkena peluru, dan puluhan warga pengunjuk rasa lainnya luka-luka. Kedua korban tewas itu dilaporkan bernama Arif Rahman (18) dan Syaiful (17), keduanya warga Desa Suni, Kecamatan Lambu, Kabupaten Bima.
Beberapa jam kemudian, pengurus Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) NTB menginformasikan kader mereka Immawan Ashary, juga tewas dalam tragedi itu.
Ribuan pengunjuk rasa yang terdesak saat digempur polisi, berpencar dan kelompok yang kembali ke Kecamatan Lambu, murka dan membakar Kantor Desa Lambu, rumah Kepala Desa Lambu, dua unit rumah anggota DPRD NTB Dapil IV (Kota Bima dan Kabupaten Bima), serta Markas Kepolisian Sektor (Mapolsek) Lambu.