Senin 23 Jan 2012 22:49 WIB

Komisi III DPR Kunjungi Bima, Selasa (24/1)

Rep: Mansyur faqih/ Red: Ramdhan Muhaimin
Sejumlah pasukan Brimob Polda NTB bersiap melakukan pembubaran massa yang melakukan pemblokiran Pelabuhan Sape, Kecamatan Sape, Bima, Kabupaten Bima, NTB, Sabtu (24/12).
Foto: Antara/Rinby
Sejumlah pasukan Brimob Polda NTB bersiap melakukan pembubaran massa yang melakukan pemblokiran Pelabuhan Sape, Kecamatan Sape, Bima, Kabupaten Bima, NTB, Sabtu (24/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komisi III DPR akan melakukan kunjungan ke Bima, Nusa Tenggara Barat, Selasa (24/1) terkait indikasi adanya kekerasan terhadap masyarakat setempat oleh aparat keamanan.

"Besok kami akan melakukan kunjungan spesifik ke Bima yang akan dilanjutkan ke Papua. Ini untuk mengungkap persoalan yang terjadi di dua daerah tersebut," ujar Kapoksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Komisi III DPR, Aboe Bakar Al Habsy, Senin (23/1).

Ia mengaku, memiliki beberapa catatan khusus terkait Bima. Antara lain, laporan yang ia terima dan temuan yang dimiliki Komnas Ham identik. Sayangnya, ujar dia, Komnas Ham tidak berani mengkategorisasikan persoalan Bima sebagai pelanggaran HAM berat.

Menurutnya, kasus di Bima bukan bentrokan antara masyarakat dengan aparat. Karena pelaku aksi sama sekali tidak memberikan perlawanan.

"Memang tidak masuk akal, kenapa masyarakat yang sudah give up masih saja dipukul, ditendang, dipopor bahkan ditembak. Ini yang akan kita investigasi besok," tambahnya.

Beberapa hal yang akan diklarifikasi antara lain, kenapa Perkap No 16 Tahun 2006, Perkap No 8 Tahun 2010 atau protab No I tahun 2010 tidak dilaksanakan oleh aparat di lapangan. "Saya kira, juga perlu saya klarifikasi kenapa aparat memakai senapan serbu saat menangani pengunjuk rasa," kata dia.

Dari dokumentasi yang ada, lanjut dia, polisi sudah mengokang senjata sejak maju mendekati warga. Ada yang membawa Revolver Pen 38, senapan serbu M 16 A2 (Colt Amerika, Kaliber Pen 22/5,56 mm), dan ada pula yang memakai senapan serbu AK 101 (Lisensi China Kaliber 5,56 mm).

Bahkan, beberapa terlihat ada yang membawa SS-1 keluaran Pindad Kaliber 5,56 x 45 mm. "Ini sebenarnya pasukan disiapkan untuk menangani huru hara atau untuk pembantaian. Masak menangani unjuk rasa pakai senapan serbu," papar dia.

Dengan kunjungan itu, Aboe berharap dapat menggali masalah itu langsung dari lapangan. Ini sebagai bentuk fungsi pengawasan DPR. "Saya berharap semua pemangku kepentingan bisa kita temui dan memberikan jawaban sesuai apa adanya," pungkas Aboe.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement