Jumat 09 Dec 2011 15:23 WIB

Terkait Kasus Rawagede, Belanda Dianggap Sengaja Ulur Waktu Minta Maaf

Rep: Ita Nina Winarsih/ Red: Siwi Tri Puji B
Janda korban Tragedi Rawagede, Cawi (86), diambil gambarnya usai mengunjungi makam suaminya, Bitol, di Monumen Perjuangan Rawagede, Rawamerta, Kabupaten Karawang, Jabar, Jum'at (16/9).
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Janda korban Tragedi Rawagede, Cawi (86), diambil gambarnya usai mengunjungi makam suaminya, Bitol, di Monumen Perjuangan Rawagede, Rawamerta, Kabupaten Karawang, Jabar, Jum'at (16/9).

REPUBLIKA.CO.ID, KARAWANG - Setelah menunggu 64 tahun, akhirnya Pemerintahan Kerajaan Belanda meminta maaf kepada janda korban pembataian Rawagede, Karawang, Jawa Barat. Permintaan maaf ini, diucapkan langsung oleh Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia, Tjeerd De Zwaan.

Menanggapi hal ini, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), Batara Hutagalung, menyatakan Pemerintahan Belanda sengaja mengulur-ngulur waktu untuk meminta maaf ini. Karena, terbukti ketika hampir seluruh saksi mata telah meninggal, utusan dari negara bunga tulip baru bersedia datang ke Rawagede.

Kasus Rawagede kembali diperbincangkan setelah KUKB melakukan penelitian di Rawagede, dan membawa kasus ini ke parlemen Belanda. Kali pertama dikenalkan ke negeri kincir angin itu, KUKB membawa dua tuntutan. Tuntutan itu, Pemerintahan Belanda harus mengakui kemerdekaan RI. Pasalnya, hingga kini Belanda secara de jure tidak mengakui kemerdekaan RI itu 17 Agustus 1945, melainkan, setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) bubar.

Tuntutan kedua, yaitu Belanda harus meminta maaf atas agresi militer terhadap Indonesia selama 3,5 abad berlangsung. Akan tetapi, sejak kasus Rawagede muncul, timbul tuntutan ketiga. Yaitu, Pemerintah Belanda harus memberikan kompensasi terhadap ahli waris korban pembantaian.

"Karena, saat penelitian kita melihat para janda korban pembantaian ini hidup sengsara," kata Hutabarat.

Sebenarnya, ketika penelitian berlangsung masih ada 22 janda yang bersedia menjadi saksi atas peristiwa berdarah itu. Tapi, yang tersisa kini tinggal enam orang lagi. Bahkan, saksi mata yang selamat dari pembataian Bapak Sai, meninggal dunia pada Mei yang lalu. Dengan kata lain, yang bersangkutan belum menikmati hasil dari perjuangan pembelaan hak tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement