REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Jaksa Agung, Basrief Arief, mengaku mengehadapi banyajk kendala saat menangani perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Pasalnya, terdapat peran DPR dalam penuntasan kasus luar biasa tersebut yang membuat mekanisme penanganan kasus menjadi tidak jelas.
Menurutnya, pembentukan pengadilan HAM adhoc yang diamanatkan oleh pasal 43 Undang-Undang NO.26 tahun 2000 mensyaratkan rekomendasi DPR dan Keputusan Presiden. Hal tersebut menghambat penuntasan kasus pelanggaran HAM. " Untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat disyaratkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc, ini sangat tergantung dari rekomendasi DPR,"ujar Basrief dalam acara Seminar Aasia Tentang Penuntutan Pelanggaran Berat Ham, yang digelar di Hotel Atlet Century, Jakarta, Selasa (15/11/2011).
Selain itu, ujarnya, mekanisme dalam Undang-Undang No.26 Tahun 2000 dibuat berdasarkan kasus Timor-Timur dan Tanjung Priuk. "Namun dalam praktiknya tidak bisa dijadikan referensi untuk kasus HAM lainnya,"ujar Basrief. Proses tersebut berawal dari penyelidikan oleh Komnas HAM, tentang adanya dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang hasilnya diserahkan ke penyidik Kejaksaan Agung.
Kemudian, penyidik melakukan penyidikan.Agar dapat dilakukan penyidikan maka perlu pembentukan pengadilan HAM ad hoc terlebih dahulu. Pasalnya, dalam penyidikan akan dilakukan beberapa beberapa tindakan hukum (upaya paksa) yang memerlukan persetujuan dari pengadilan ad hoc.
Menurutnya, hal tersebut berdampak pada pola hubungan yang tidak jelas antara DPR dengan Komnas HAM sebagai penyelidik pada kasus-kasus yang terjadi sebelum terbentuknya Undang-Undang No.26 Tahun 2000. Untuk penuntasan kasus Semanggi dan Trisakti, misalnya, dua institusi tersebut bersamaan melakukan penyelidikan.
Ketika itu, Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM (5 Juni 2001) sementara DPR membentuk panitia khusus (28 Juni 2011). Belakangan, hasil pansus di DPR pun menentukan bahwa kasus Trisakti dan Semanggi bukan merupakan pelanggaran HAM berat sehingga harus dituntaskan melalui pengadilan umum dan pengadilan militer.
Kewenangan aparat hukum ad hoc HAM, dalam menangani perkara pelanggaran HAM berat pun menjadi hambatan yang harus dihadapi Kejaksaan Agung. Berdasarkan ketentuan acara yang ada, aparat hukum ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM tidak berwenang menyangkakan pidana lainnya diluar pidana HAM kepada seorang tersangka atau terdakwa. Sementara aparat yang boleh menangani perkara HAM berat hanyalah aparat hukum ad hoc HAM.
Menurutnya, persoalan akan terjadi ketika terdakwa tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM berat, tetapi cukup bukti melakukan pembunuhan terhadap beberapa orang berdasarkan delik pembunuhan yang diatur dalam KUHP. "Bagaimana jika dicantumkan delik pembunuhan sebagai dakwaan subsider, sedangkan penyidik ad hoc tidak berwenang melakukan penyidikan tindak pidana umum," tuturnya.