REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sistem proporsional tertutup dinilai rawan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), karena saat pemilihan berlangsung calon wakil rakyat kerap bergerombol dari satu keluarga.
Peneliti Politik LIPI, Indria Samego, menyatakan sistem ini kerap menutup pengetahuan masyarakat tentang adanya praktik KKN dalam Pemilu. Calon tidak diketahui identitas dan profilnya dengan jelas sehingga kakak, adik, sepupu, keponakan, dan lainnya, ternyata mencalonkan diri untuk menjadi wakil rakyat.
Sementara calon-calon tersebut saling bekerja sama menghimpun kekuatan modal. Hal ini tidak menutup kemungkinan akan merugikan masyarakat ketika mereka terpilih. "Kita tidak ingin seperti itu," kata Indria.
Dia mengatakan, sistem pemilu seharusnya lebih mengedepankan transparansi agar rakyat mengetahui betul siapa yang cocok menjadi wakilnya nanti di Parlemen.
Selain itu, Indria juga menilai sistem pemilu yang sudah pernah diterapkan sebelumnya hendaknya diperbaiki, tanpa harus diganti. DPR diharapkan mampu meneruskan sistem yang sudah ada agar masyarakat tidak lagi harus menyesuaikan diri dengan sistem baru. "Kalau sistemnya baru, maka masyarakat akan semakin sulit, bahkan enggan untuk menggunakan hak suaranya, karena selalu berubah," paparnya.
Menurut Indria, lebih baik sistem yang sudah ada terus dimatangkan saja. Sistem yang sudah ada harus mampu meloloskan calon yang memang berkompeten untuk menjadi wakil rakyat. Hal ini dapat dilakukan dengan dukungan partai. "Masyarakat juga harus mengenal betul calon yang diusung partai. Di sinilah peran partai bermain," paparnya.
Sementara itu, Anggota Pansus RUU Pemilu dari PKS, Agus Purnomo, menyatakan sistem proporsional tertutup lebih mampu menelurkan calon wakil rakyat yang berkompeten, karena partai tahu siapa kadernya yang berkualitas.
Dalam undang-undang partai, sudah diatur bahwa partai berkewajiban untuk mempublikasikan alasannya terkait calon-calon yang diajukan sebagai wakil rakyat. Alasan-alasan kenapa harus si X yang menjadi wakil rakyat harus diutarakan, sehingga masyarakat mengetahui.
Sementara sistem terbuka, dinilainya belum tentu melahirkan kader yang berkompeten menjadi wakil rakyat, karena calon biasanya hanya mengandalkan popularitas. "Kita masih terus membahas sistem apa yang cocok buat pemilu nanti," ujarnya.