Selasa 20 Sep 2011 11:43 WIB

Reshuffle Sebaiknya Tidak Bersifat Reaktif

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Siwi Tri Puji B
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Boediono berfoto bersama para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II di tangga Istana Merdeka, Jakarta.
Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Boediono berfoto bersama para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II di tangga Istana Merdeka, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta - Pengamat politik dari The Indonesian Institute, Indra J Piliang, mengatakan reshuffle kabinet sebaiknya tidak bersifat reaktif. "Seharusnya alasan perombakan kabinet bukan karena menurunnya kepercayaan publik terhadap presiden dan wakil presiden,  tapi murni berdasarkan penilaian kinerja para menteri dalam situasi normal," kata Indra, Selasa (20/9).

Indra mengungkapkan, jika reshuffle benar-benar dilakukan oleh pemerintah dalam waktu dekat,  maka hal itu lebih kepada momentum politik ketika pemerintah menghadapi krisis legitimasi. Dia menghubungkan krisis legitimasi tersebut dengan hasil survai LSI beberapa waktu lalu,  yang menunjukkan menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap kabinet SBY-Boediono.

Persoalannya, kata Indra, apakah momentum itu benar-benar menjadi alasan reshuffle atau tidak. Jika benar, maka momentum itu tidak tepat, karena seharusnya reshuflle dilakukan dalam situasi normal dimana kinerja para menteri dapat diukur secara konsisten. Karena reshuffle adalah reposisi untuk mencapai kinerja pemerintahan yang lebih baik baik.

Menurut hasil survai LSI itu, menurunnya kepercayaan publik lebih disebabkan oleh kasus hukum yang menyeret nama beberapa menteri. Tetapi, sambung Indra, perombakan kabinet tidak berhubungan dengan soal hukum tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement