Kamis 14 Jul 2011 15:56 WIB

Setelah Moratorium TKI ke Arab Saudi

TKI, ilustrasi
Foto: Antara
TKI, ilustrasi

Oleh Inayatullah Hasyim, LL.M

Terhitung sejak tanggal 1 Agustus 2011 mendatang, pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk menghentikan pengiriman pekerja Indonesia ke Arab Saudi. Keputusan yang dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu menyusul sejumlah kasus pidana yang dihadapi oleh pekerja Indonesia, khususnya pembantu rumah tangga, yang mendapat hukuman maksimum untuk kesalahan mereka.

Eksekusi Ruyati dengan hukuman pancung menjadi alarm bagi pemerintah untuk mengambil keputusan moratorium. Namun, seakan merespon lebih awal atas keputusan pemerintah Indonesia, Arab Saudi telah mengumumkan untuk menghentikan perekrutan pekerja dari Indonesia. "Mulai Sabtu, Juli 2, 2011 Menteri Tenaga Kerja menghentikan pemberian visa bagi pekerja Indonesia. Penghentian visa juga akan diterapkan untuk pekerja dari Filipina," kata juru bicara Menteri Tenaga Kerja Hattab bin Saleh Al –Anzi, sebagaimana dikuti Arabnews, Kamis (29 / 6).

Dalam rangka memahami krisis perburuhan Indonesia-Arab Saudi, setidaknya ada tiga issu utama untuk diselesaikan. Pertama: Memahami Budaya: Seperti kita ketahui, Indonesia dan Arab Saudi adalah negara dengan status mayoritas muslim. Namun, Indonesia adalah negara yang terbuka, termasuk masyarakatnya yang terbiasa dengan pakaian yang tidak tertutup rapat. Arab memilki budaya sebaliknya. Demikian halnya soal sopan santun. Jalan membungkuk, misalnya, adalah bentuk penghargaan. Mencium tangan adalah tanda penghormatan. Hal tersebut tidak kita dapatkan di masyarakat Arab.

Tampaknya, pada setiap Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) perlu diwajibkan untuk memberikan “mata kuliah” pengenalan budaya sebelum pengiriman TKI ke luar negeri. Saya pribadi menyaksikan bagaimana para calon TKW berusaha untuk belajar bahasa Arab, namun mereka hanya belajar bagaimana mengeja peralatan dapur seperti sendok, piring, gelas, dll Tapi, mereka tidak pernah mempelajari budaya dan peradaban Arab.

Kedua: Revisi Undang-undang. Sambil menerapkan moratorium pengiriman buruh migran ke Arab Saudi, sudah saatnya bagi pemerintah dan DPR untuk duduk bersama untuk meninjau UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI. Undang-undang tersebut sangat terbatas dalam cakupannya. Perlindungan pekerja perempuan (hamil) tidak diatur. Peran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dalam penempatan buruh migran juga sangat minim. Kementerian Pemberdayaan Perempuan harus memiliki lebih banyak ruang sehingga pembantu tidak menjadi korban pelecehan gender.

Selanjutnya, UU tersebut juga tidak mencakup nasib para pelaut meskipun kesempatan untuk bekerja di kapal sekarang cukup besar. Pada tahun 2008, misalnya, jumlah yang diperlukan adalah 1,3 juta orang, sedangkan di 2009 jumlahnya meningkat menjadi 1,5 juta orang. Meskipun permintaan tumbuh, profesi ini belum diatur secara jelas. UU No: 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI juga tidak mengatur profesi pelaut jelas. Sampai saat ini, Indonesia belum meratifikasi konvensi PBB tentang perlindungan hak-hak pekerja migran dan keluarga mereka. Bahkan, meratifikasi konvensi PBB adalah mutlak diperlukan agar para pekerja migran untuk bisa sejajar dengan pekerja migran negara asing lainnya.

Ketiga: Pemahaman hukum (Islam) Arab Saudi. Setelah semua penjelasan di atas disebutkan, masalah yang tersisa yang harus dipahami juga adalah masalah hukum. Banyak kasus yang dihadapi oleh buruh migran adalah tindakan kriminal yang mengantarkan mereka pada hukuman mati.  Di Arab Saudi, pidana had pembunuhan hukumannya adalah qisas. Artinya, jika si fulan terbunuh, pembunuhnya pun harus dihukum mati.

Namun, berbeda dengan empat pidana had lainnya, keluarga korban pembunuhan dapat memberikan maaf berdasarkan aturan al-Qur’an pada surah al-Baqarah ayat 178. Bahkan, al-Qur’an menegaskan bahwa memaafkan merupakan keringanan dari-Nya. Allah berfirman, “Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih”. Besaran diyat disebutkan dalam satu hadits Nabi, yaitu setara dengan seratus ekor unta.

 

Berdasarkan madzhab (aliran) Hanbali yang berkembang dan dianut di Arab Saudi, pembunuhan sendiri terkategori pada dua tingkatan: Qatl bil Amd (Pembunuhan disengaja) dan Qatl ghair Amd (Pembunuhan tidak disengaja). Dua jenis pembunuhan ini dibedakan berdasarkan delik dan alat bukti. Tentu saja, hukumannya pun berbeda satu dengan lainnya. Sebagaimana hukum pidana kita, pembuktian materiil juga digunakan untuk merujuk apakah suatu tindak pidana pembunuhan tergolong qatl bil amd ataukah tidak. Maka, sesuatu dapat disimpulkan sebagai qatl bil amd bila, misalnya, berdasarkan alat bukti dan keterangan saksi menuntun pada kesimpulan qadhi (hakim) telah terjadi tindak pidana.

 

Menyimak kasus-kasus TKW dengan ancaman pidana mati, setidaknya ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati. Dalam tradisi Arab sebelum Islam, pembunuhan seringkali menyebabkan pertumpahan darah turun-temurun, antar satu kabilah dengan kabilah lain tanpa ada aturan yang jelas. Islam kemudian mengatur dengan hukum qisas. Artinya, hanya kepada pelaku pidana hukuman wajib diberikan. Tidak kepada anggota suku dan kabilahnya. Qisas itu berfungsi menciptakan kehidupan yang damai.

 

Karena itu pula, hukum Islam memberikan ruang pemaafan kepada pelaku sebagai ganti hukuman mati (qisas). Ketika sejumlah negara tengah berusaha menghapus pidana mati, Rasulallah SAW sudah mengingatkannya sekian abad lalu. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulallah SAW bersabda, “Allah tertawa melihat dua (jenazah) lelaki itu. Salah satunya adalah pembunuh, namun keduanya masuk syurga. Laki-laki satu ini berjuang di jalan Allah, lalu mati terbunuh (ia masuk syurga). Kemudian pembunuhnya itu bertaubat, dan masuk Islam lalu menemukan kesyahidannya (masuk syurga juga).” Isyarat hadits ini jelas, berikan ruang pemaafan kepada pelaku sebab boleh jadi, taubat akan membuatnya lebih baik. Untuk itu pula, hukuman qisas batal jika, misalnya, dari sepuluh ahli waris, ada satu orang yang memilih memaafkan terpidana. Dalam hal pidana delik had ini, Rasulallah SAW mengatakan, “Setiap pidana had batal jika ada keragu-raguan.”

 

Lebih jauh, KUHAP Arab Saudi (Qanun al-Murafaat) adalah manifestasi fiqh Hanbali yang dituangkan dalam bentuk undang-undang. Berbeda dengan KUHAP kita, Qanun al-Murafaat berisikan banyak sekali jurisprudensi. Maka, jika anda jadi lawyer litigasi, anda harus hafal ayat-ayat al-Qur’an, hadits, dan ribuan jurisprudensi yang telah berlangsung berabad-abad. Di sana, kekuasaan kehakiman menyatu menjadi bagian dari kerajaan. Bahkan, seorang Menteri Kehakiman bertindak sekaligus sebagai Ketua Mahkamah Agung.

 

Kita tahu, para TKW kita bekerja di sektor domestik di mana payung hukum perlindungannya sangat rentan dan sulit. Pada kasus Darsem binti Dawud ini, misalnya, ia kukuh tidak melakukan pembuhan (qatl amd) melainkan sebagai usaha membela diri dari pemerkosaan (qatl ghair amd). Masalahnya, Locus delicti-nya adalah ruang privat yang pada masyarakat Arab tabu untuk dilakukan, misalnya, gelar perkara atau olah TKP secara terbuka kepada publik. Lebih jauh, kita tahu, masyarakat Arab sangat kental dalam beragama. Jenazah seorang muslim, misalnya, tak boleh diautopsi oleh dokter non-muslim. Pemeriksaan kepada saksi atau terdakwa wanita harus dilakukan oleh polisi wanita dan didampingi lawyer wanita pula.

 

Saya kira, itu adalah tiga issu utama yang harus ditangani oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pemerintahnya di tahun-tahun mendatang, terutama untuk menyelesaikan krisis buruh migran Indonesia di Arab Saudi. Ada lebih dari satu juta orang Indonesia saat ini bekerja di Arab Saudi. Beberapa dari mereka telah bekerja selama bertahun-tahun tanpa pemahaman hukum dan budaya yang tepat. Mereka perlu merasa bahwa ada pemerintah Indonesia yang menyentuh hidup mereka. Percayalah, orang Saudi juga sangat membutuhkan ntuk memiliki TKI kita ketimbang dari Bangladesh. Indonesia lebih rendah hati dan terpercaya. Jadi, sekaranglah saatnya untuk mengangkat posisi tawar pekerja migran Indonesia.

Penulis adalah praktisi hukum, berdomisili di Bogor

[email protected]

_______________________

Kirimkan artikel Anda ke: [email protected]. Artikel disertai identitas jelas penulis. Redaksi berhak tidak menayangkan kiriman tulisan berdasarkan penilaian redaksi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement