REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pencabutan moratorium tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Timur Tengah oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dinilai percuma. Sebab, pengelolaannya masih berantakan.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan, selama ini program yang dilakukan BNP2TKI untuk membenahi tata kelola TKI belum berhasil. "Harus ada evaluasi menyeluruh dari tata kelola penempatan TKI di Timur Tengah. Audit kinerja terhadap BNP2TKI," kata Wahyu dalam keterangannya, Jumat (22/9).
Apalagi, Wahyu menambahkan, selama ini BNP2TKI masih setengah hati mengevaluasi perusahaan penyalur TKI alias Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Padahal, menurut catatannya, banyak perusahaan tersebut yang masih melanggar aturan tentang penempatan TKI.
"Harus tegas mengaudit kinerja Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Selama ini belum ada pernyataan resmi BNP2TKI tentang PPTKIS," ujar Wahyu. Selain itu, Wahyu juga menyoroti masalah perlindungan TKI di luar negeri.
Kekuatan diplomasi yang dilakukan pemerintah belum cukup kuat memberikan perlindungan bagi TKI. Menurut dia, kinerja kualitas diplomasi perlindungan TKI juga harus diaudit.
Wahyu mengakui memang moratorium tersebut harus dibuka. Namun, akan lebih baik pengelolaannya diperbaiki terlebih dahulu. Pada 2015, Bank Dunia mencatat sumbangan remintasi TKI mencapai 10,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 140 triliun.
Sebelumnya, BNP2TKI memperkirakan ada 30 ribu tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal yang berhasil lolos ke luar negeri tiap tahun. Akibatnya, banyak masalah yang ditimbulkan TKI ilegal itu.
"Pasca-moratorium terbuka, ternyata impact-nya malah banyak TKI ilegal yang terkirim dan menimbulkan masalah. Data imigrasi yang terkirim sampai saat ini sekitar 2.600 tenaga kerja per bulan. Jadi diperkirakan 30 ribu orang yang tidak tercatat oleh negara alias ilegal per tahunnya," kata Kepala BNP2TKI Nusron Wahid.