REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Untuk penyelenggara pemilu di 2014, Komisi II telah sepakat agar KPU wajib menyerahkan rekapitulasi hasil pemilu mulai dari tingkat nasional sampai ke tempat pemungutan suara (TPS). "Kesepakatan ini diambil karena mengaca pada pemilu 2009," kata Wakil Ketua Komisi II, Abdul Hakam Naja kepada Republika, Senin (4/7).
Kala itu, KPU tidak bisa menyerahkan laporan rekapitulasi hasil pemilu. Kalau sekarang dilakukan audit, maka bisa dikatakan disclaimer dan mungkin saja dianggap fiktif.
Sebab, KPU pun hanya bisa menyerahkan rekap di tingkat kecamatan. Maka dalam revisi UU 22/2007 yang sedang digarap, secara eksplisit dikatakan laporan hasil pemilu harus dibuat hingga tingkat TPS.
Hal ini dianggap berhubungan dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) yang ada. Maka, pada Senin siang ini, Komisi II memanggil Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) untuk membicarakan mengenai daftar pemilih tetap (DPT).
DPT ini akan berujung pada elektonik KTP dengan penetapan nomor induk kependudukan (NIK) nasional yang berpengaruh pada potensi jumlah suara yang bisa diperoleh dalam pemilu 2014. Dari keterangan Mendagri mengenai perkembangan penerapan e-KTP dan NIK nasional, sudah ada tujuh juta KTP ganda yang bisa terdeteksi.
Artinya, pemerintah dan KPU harus mensinkronkan data yang sesungguhnya agar tidak terjadi penggelembungan seuara. "Agar data kependudukan daftar pemilih sementara (DPS) itu bisa disaring KPU dan bisa menjadi benar dan tidak kisruh saat menjadi DPT," katanya.
Hal ini dinilai penting karena data dari pemerintah akan menjadi bahan dasar yang akan dimuktahirkan KPU. Terlebih lagi pada 2009 terjadi kekacauan DPT yakni ketika satu identitas bisa dipakai hingga oleh 85 orang.
Artinya, perlu ada kejelasan jumlah orang yang berpotensi menyumbangkan suaranya dalam pemilu 2014. "Data dari pemerintah harus klop dengan data yang nantinya akan dimuktahirkan," katanya.
Dengan suntikan dana Rp6 ,7 triliun untuk penerapan e-KTP ini, Komisi II akan menagih sejauh mana persiapan sudah selesai. Apalagi, data jumlah penduduk Indonesia dari versi Dukcapil sebanyak 260 juta, sedangkan versi BPS sebanyak 237 juta.
"Perbedaan ini sangat penting dalam pemilu. Data kependudukan itu harus valid dan termuktahirkan," katanya.
Sementara itu, anggota Komisi II dari Fraksi Partai Golkar, Nurul Arifin mengatakan UU PP yang sekarang akan mengatur lebih ketat. "Pengawasan oleh DPR lebih ketat. Setiap tahap pemilu yang dilakukan KPU harus dilaporkan ke Komisi II," katanya.
Hal ini untuk menghindari kemungkinan pembuatan aturan oleh KPU yang bertolak belakang dengan UU yang sudah ditetapkan. Seperti yang terjadi pada munculnya aturan KPU 75/2009 yang membolehkan menghilangkan hasil pemilu.
"Membuat aturan sendiri menghapus data hasil pemilu dengan alasan tidak punya gudang sehingga membakar hasil pemilu. Itu sudah melanggar aturan," katanya.