REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pakar hukum tata negara, Irman Putra Sidin menilai revisi UU No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) hanya sebagai kerikil dalam sepatu MK. Artinya, MK bisa membatalkan UU tersebut di kemudian hari. “Kalau secara kelembagaan, revisi UU itu tidak berpengaruh karena hanya ditingkat UU bukan perubahan pada UUD-nya,” katanya saat ditemui usai dialog kenegaraan di lobby DPD, Rabu (22/6).
Ditegaskannya, jika secara konstitusional revisi UU tidak berdampak apa-apa terhadap lembaga hukum itu. Menurutnya, revisi UU itu tidak melemahkan MK. Kalaupun harus dibatalkan oleh MK, hal tersebut sudah pernah terjadi pada UU 24/2003.
Salah satu pasal dalam UU tersebut menyebutkan UU yang boleh diujikan di MK adalah UU yang diundangkan setelah perubahan pertama UU. Artinya hanya UU setelah UU 1999. Tetapi, putusan MK pun mengesampingkan hal tersebut.
Tetapi, Irman mengakui adanya hal yang perlu dikhawatirkan dari revisi UU ini. Yakni terkait ultra petita dan pelarangan penambahan norma baru. Ia mengatakan dengan UU yang menyatakan MK tidak boleh lagi memutuskan diluar yang dimintakan pemohon, akan menimbulkan masalah. “Karena secara konstitusional UU yang diuji itu bagian dari sebuah sistem besar,” katanya.
Ada norma yang diuji dalam UU tersebut yang kemungkinan berkaitan dengan UU lainnya. Dalam posisi ini, pemohon tidak tahu ada keterkaitan mengenai UU tersebut. “Pemohon kan tidak harus ahli hukum, jadi tidak perlu meminta semua UU untuk diujikan,” katanya.
Sedangkan untuk pelarangan penambahan norma, ia justru mempertanyakan kewenangan ini. Biasanya, lanjut dia, pelarangan penambahan norma itu dilakukan untuk mengisi kekosongan hukum. Menurutnya, meniadakan norma sama dengan menghadirkan norma baru.
Contohnya, norma dilarang ketawa dihilangkan. Artinya, norma diperbolehkan ketawa itu menjadi ada. “Tidak ditulis pun itu sudah menjadi norma. Tetapi, tidak semua orang bisa menafsirkan seperti itu,’ katanya. Disitulah peran MK untuk menambahkan secara terinci dan jelas aturan mengenai norma tersebut. “Itulah yang biasa MK tulis karena kalau tidak menjadi chaos di keesokan harinya,” katanya.
Koordinator divisi hukum dan monitoring peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah menilai ada upaya pelemahan MK atas pengesahan UU tersebut. “UU ini ternyata juga agak kurang maksimal,” katanya.
Dari UU tersebut, terlihat ada persengkongkolan antara pemerintah dan DPR yang berakibat pada upaya melemahkan MK. Menurutnya, untuk menyelamatkan MK maka harus dilawan. Caranya ,dengan Judicial Review (JR) apakah UU ini bertentangan dengan konstitusi.
Menurutnya, trend pelemahan ini tak hanya terjadi di MK. “Sebelumnya di Komisi Yudicial yang bisa dilihat DPR yang tidak berkomitmen membahasnya dan hingga sekarang belum selesai, serta upaya pelemahan KPK melalui UU yang juga sudah didengungkan,” katanya.