REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Meskipun pemerintah menarik draf revisi UU Tipikor, namun Indonesian Corruption Watch (ICW) tetap menolak UU Tipikor direvisi. Karena, dikhawatirkan dalam perumusan perbaikan draf revisi itu akan ditunggangi penumpang gelap. "Penunumpang gelap itu maksudnya pihak-pihak yang ingin melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Peneliti Bidang Hukum ICW, Donal Fariz saat dihubungi Republika, Ahad (3/4).
Menurutnya, sikap ICW adalah sama seperti semula, menolak revisi atas UU Tipikor. Dalam keadaan penegakan hukum di Indonesia saat ini, bukanlah suatu keputusan yang tepat untuk merevisi UU Tipikor. "Gunakan saja UU yang ada saat ini, karena memang masih layak," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah saat ini harus menahan diri. Mereka jangan mau terpengaruh oleh pihak-pihak yang ingin merevisi UU tersebut dan ingin melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Sebelumnya, ICW menyebutkan sembilan hal yang dianggap melemahkan upaya pemberantasan korupsi dalam draft UU Tipikor.
Yaitu, hilangnya ancaman hukuman mati, hilangnya pasal tentang kerugian negara, hilangnya ancaman hukuman minimal di sejumlah pasal, penurunan ancaman hukuman minimal menjadi hanya satu tahun, dan melemahnya sanksi untuk mafia hukum, seperti suap untuk aparat penegak hukum. Selain itu, ICW menemukan pasal yang potensial mengkriminalisasi pelapor kasus korupsi, korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp 25 juta bisa dilepas dari penuntutan hukum, serta tidak adanya kewenangan penuntutan KPK yang disebut secara jelas.
Kelemahan terakhir, menurut ICW, dalam rancangan ini tidak ditemukan aturan seperti Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001 yang mengatur soal pidana tambahan, yaitu pembayaran uang pengganti kerugian negara, perampasan barang yang digunakan dan hasil untuk korupsi, serta penutupan perusahaan yang terkait dengan korupsi.
Seperti diketahui, Menteri Hukum dan HAM RI, Patrialis Akbar di gedung DPR, Kamis (31/3) menyatakan bahwa draft revisi UU Tipikor ditarik oleh Sekretariat Negara (Setneg) dari Kemenkum HAM. Menurutnya, ada sejumlah masalah teknis yang harus diluruskan dalam draft tersebut sehingga draft tersebut memiliki kekuatan untuk pemberantasan korupsi. Saat ini, perbaikan draft revisi UU tersebut masih dalam kajian oleh pemerintah.