REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA — Gagasan pemerintah yang berencana membangunan Jembatan Selat Sunda untuk menghubungkan Jawa dengan Sumatera dinilai merupakan kebijakan keliru. Meski bertujuan untuk meningkatkan roda perekonomian dengan membuat alur distribusi barang menjadi lancar. Namun, Guru Besar Teknik Kelautan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya Daniel Mohammad Rosyid mengatakan rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda termasuk blunder teknologi.
“Jika sampai dibangun akan menjadi kemubaziran dalam skala besar. Kebijakan itu termasuk blunder teknologi dan ekonomi regional,” ujar Daniel kepada Republika, Jumat (28/1).
Menurutnya, terdapat tiga alasan mendasar mengapa Jembatan Selat Sunda dinilai tak layak dibangun. Pertama, jembatan adalah turunan paradigma pulau besar yang memandang laut dan selat sebagai pemisah. Sehingga menjadi solusi paling rasional bagi manusia yang hidup di negara kepulauan.
Kedua, alasan topologi. "Menghubungkan dua pulau dengan jembatan justru menurunkan bentuk keterhubungan," katanya.
Ketiga, alasan teknomik. Solusi mengembangkan kapal feri dan layanan penyeberangan melalui kapal ro-ro lebih bermanfaat daripada membangun jembatan. “Jadi lebih banya kekurangan jika Jembatan Selat Sunda sampai dibangun,” kata Daniel.
Ia membandingkan biaya pembangunan dan solusi terkait teknologi alternatif lebih baik daripada membangun Jembatan Selat Sunda yang akan memakan biaya sebesar Rp 180 triliun. Dengan pembangunan terowongan akan membutuhkan dana Rp 360 triliun. “Maka dengan pengembangan kapal dan pelabuhan canggih hanya memerlukan biaya Rp 20 triliun,” ungkap alumnus Departemen of Maritime Technology, the University of Newcastle, Inggris tersebut.