REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Penegakan hukum yang disandarkan pada kebaikan hati dan pertimbangan politis-kekuasaan akan menyebabkan ketidak percayaan pada pranata dan institusi penegak hukum itu sendiri. '''YLBHI menilai, perkara kriminalisasi Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah amat menusuk rasa keadilan. Namun, menyerahkan proses hukum kepada belas kasihan dan intervensi kekuasaan akan lebih merusak, tidak saja menciderai rasa keadilan, melainkan tatanan hukum yang hendak dibangun,'' tegas Patra Zen, Ketua YLBHI dalam siaran persnya yang diterima Republika di Jakarta, Kamis (10/6).
Karenanya, menurut Patra, mesti dibedakan konteks penyelamatan lembaga KPK dan gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia dengan masalah penyelamatan individu pimpinan KPK. ''Walaupun dalam konteks saat ini, tentu amat sulit dipisahkan karena status Bibit dan Chandra yang kembali menjadi tersangka akibat putusan Pengadilan Tinggi DKI menguatkan putusan PN Jakarta Selatan,'' katanya.
Tuntutan kepada Bibit dan Chandra bukan perkara main-main. Keduanya diduga memeras dan melanggar Pasal 12 huruf e UU Pemberantasan Korupsi. Tentu tidak sedikit kelompok masyarakat yang percaya kriminalisasi ini adalah murni rekayasa. ''Hingga saat ini, kami juga masih berpendirian adanya dugaan rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK, yang tentu saja bertujuan melemahkan KPK dan upaya pemberantasan korupsi. Kami juga percaya Bibit dan Chandra mempunyai pembelaan yang telah rapi dipersiapkan. Namun, tidak dipungkiri saat ini penilaian masyarakat juga terbelah,'' jelasnya.
Menurut Patra, menggantungkan nasib pimpinan KPK pada Jaksa Agung dan Presiden jelas bertentangan dengan 3 (tiga) asas teratas dari 5 (lima) asas pokok yang mendasari tugas dan wewenang KPK, yaitu kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. ''Karenanya, perdebatan mengenai apakah pimpinan KPK mesti menunggu hasil permufakatan atau pemusyawaratan, apalagi 'belas kasihan' Jaksa Agung dan Presiden RI sangat tidak berdasar,'' tandasnya.