Senin 15 Dec 2025 17:11 WIB

Mengapa Pemerintah Aceh Sampai Harus Minta Bantuan PBB dan Warga Kibarkan Bendera Putih?

Muzakarah Ulama Aceh meminta pemerintah pusat menetapkan status bencana nasional.

Rep: Bambang Noroyono,Fuji Eka Permana/ Red: Andri Saubani
Kondisi area RSUD Aceh Tamiang yang luluh lantak akibat banjir di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Ahad (7/12/2025). Berdasarkan data BPBD setempat hingga Sabtu (6/12), banjir bandang mengakibatkan 57 warga Aceh Tamiang meninggal dunia dan 23 warga hilang, sementara berdasarkan data BNPB bencana banjir dan tanah longsor di Sumatra mengakibatkan 916 orang meninggal dunia dan 274 orang hilang.
Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana
Kondisi area RSUD Aceh Tamiang yang luluh lantak akibat banjir di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Ahad (7/12/2025). Berdasarkan data BPBD setempat hingga Sabtu (6/12), banjir bandang mengakibatkan 57 warga Aceh Tamiang meninggal dunia dan 23 warga hilang, sementara berdasarkan data BNPB bencana banjir dan tanah longsor di Sumatra mengakibatkan 916 orang meninggal dunia dan 274 orang hilang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Pemerintah Aceh resmi meminta keterlibatan dua lembaga internasional di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membantu menangani pascabencana banjir bandang dan longsor di tanah rencong. Dua lembaga PBB yang dimintai keterlibatannya tersebut yakni United Nations Development Programme (UNDP) dan United Nations Children's Fund (UNICEF). 

"Pemerintah Aceh secara resmi juga telah menyampaikan permintaan keterlibatan beberapa lembaga internasional," kata Juru Bicara Pemerintah Aceh, Muhammad MTA, di Banda Aceh, Senin (15/12/2025).

Baca Juga

"Permintaan keterlibatan lembaga internasional atas pertimbangan pengalaman bencana tsunami 2004, seperti UNDP dan UNICEF," ujarnya menambahkan.

Selain itu, MTA juga menyampaikan bahwa saat ini tercatat 77 lembaga dengan mengikutsertakan 1.960 relawannya dalam upaya pemulihan bencana Aceh, dan telah tercatat pada Desk Relawan BNPB dan Posko Aceh. Mereka merupakan lembaga atau NGO lokal, nasional dan internasional. Besar kemungkinan, keterlibatan lembaga dan relawan terus bertambah dalam respon kebencanaan ini.

photo
Sejumlah warga korban bencana yang terisolir melintasi Daerah Aliran Sungai (DAS) lewat jembatan tali darurat penghubung dari Desa Bergang Kecamatan Ketol, Aceh Tengah dan Desa Simpang Rahmat, Gajah Putih, Bener Meriah, Aceh, Ahad (14/12/2025).Berdasarkan data pos Komando tanggap darurat bencana Aceh sebanyak 1.464 jiwa dari Desa Bergang, Karang Ampar dan Desa Pantan Reduk kecamatan Ketol masih terisolir akibat akses jalan dan jembatan putus pasca bencana hidrometeorologi pada Rabu (26/11) lalu. - (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas)

Kehadiran lembaga dan relawan ini, diharapkan dapat memperkuat kerja-kerja kedaruratan dan pemulihan bencana yang sedang dilaksanakan oleh instansi pemerintahan seperti TNI, Polri, BNPP, BPBA Aceh, Basarnas, Pem. Kab/kota, ormas/OKP secara mandiri dan masyarakat Aceh.

Ia menyebutkan, beberapa lembaga yang sudah masuk dalam Desk Relawan BNPB untuk Aceh yaitu Save The Children, Islamic Relief, ABF, DH Charity, FKKMK UGM, Mahtan Makassar, Relawan Nusantara, Baznas, EMT AHS UGM, Koalisi NGO HAM, Katahati Institute, Orari, Yayasan Geutanyoe dan lainnya.

Selain pemerintahnya yang telah meminta bantuan ke PBB, masyarakat di Aceh masif mengibarkan bendera-bendera putih di depan rumah-rumah, dan di titik-titik pengungsian bencana. Kantor-kantor pemerintahan di daerah, pun dikabarkan mengibarkan bendera warna serupa.

Pengibaran bendera-bendera putih tersebut bentuk protes, dan respons warga yang tak lagi tahan dengan situasi kebencanaan saat ini. Rahmiana, seorang warga Banda Aceh yang melakukan kerja-kerja kemanusian di Kabupaten Bireun mengatakan, pemancangan bendera-bendera putih masif dilakukan belakangan ini.

“Di Bireun, banyak warga dan juga relawan-relawan yang memasang bendera putih karena tidak tahan dengan situasinya yang sudah sangat parah,” kata dia saat dihubungi Republika dari Jakarta, Senin (15/12/2025).

Rahmiana mengirimkan video-video tentang warga Aceh yang menaiki motor untuk membagi-bagikan bendera putih ke warga. Di Lokshukon, seorang warga bernama Siti menyampaikan kepada Republika bendera putih juga berkibar.

“Bendera putih itu berkibarnya di Gedung (Pemerintah) Aceh Utara, juga di Masjid Raya,” kata Siti melalui sambungan telepon.

Siti sempat mengalami banjir dengan tinggi airnya mencapai atas rumah di Desa Alumuddin pada 26 November 2025 lalu. Menurutnya, bendera-bendera putih itu bentuk solidaritas bersama seluruh warga Aceh yang saat ini masih dalam kebencanaan.

Tetapi lebih dari itu, kata dia, bendera putih, pun sebagai respons, dan protes atas penanganan bencana yang saat ini terjadi di banyak wilayah di Aceh. “Bendera putih itu, artinya kan menyerah. Karena banyak yang meninggal, dan bencananya tidak ditangani dengan baik,” ujar dia.

Siti bersama keluarga sempat mengungsi. “Kami sempat mengungsi sampai tujuh hari di rumah-rumah warga, atau yang tempatnya lebih tinggi,” kata dia. Di awal-awal situasi bencana, kata dia, warga saling membantu. Termasuk saling menyokong agar semua dapat tempat berlindung, dan bisa makan.

“Kami harus melewati deras air sedalam lebih dari dua meter untuk mencapai meunasah (balai desa) untuk mengungsi,” kata dia.

 

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement