REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Maruarar Siahaan menyoroti pentingnya peran aktif Kejaksaan dan seluruh aparat penegak hukum dalam mempersiapkan penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan berlaku mulai Januari 2026. Menurutnya, tanpa persiapan yang matang, implementasi KUHP baru dikhawatirkan akan menimbulkan banyak kekacauan.
Penilaian ini muncul sehubungan dengan langkah proaktif Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat yang telah menjalin perjanjian kerja sama dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat terkait pemberlakuan pidana kerja sosial—salah satu bentuk sanksi baru dalam KUHP.
“Langkah kerja sama Kejati Jabar ini sangat baik sebagai persiapan awal. Namun, seharusnya persiapannya tidak hanya terbatas pada pidana tambahan kerja sosial saja. Pemerintah, termasuk Kejaksaan, harus benar-benar mempersiapkan penerapan KUHP baru ini secara menyeluruh,” tegas Maruarar.
Maruarar mengingatkan kondisi serupa saat Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diterapkan sekitar tahun 1981-an. Saat itu, pemerintah mengadakan serangkaian kegiatan berkesinambungan untuk memastikan pemahaman bersama antar berbagai pihak: pengacara, hakim, kepolisian, jaksa, hingga akademisi.
“Ini yang harus dilakukan pemerintah sekarang, dan Kejaksaan dapat menjadi motor penggerak utamanya, dalam menyongsong berlakunya KUHP yang baru,” jelas Maruarar.
Banyak hal yang harus dipahami bersama, mulai dari ketentuan pidana, prosedur penerapannya, hingga masalah teknis seperti pidana kerja sosial. Mantan Hakim MK ini mengingatkan bahwa karena banyaknya perbedaan antara KUHP yang lama dan yang baru, koordinasi yang kuat dan kinerja cepat Kejaksaan bersama instansi lain sangat krusial.
“Persiapan-persiapan ini harus segera dilakukan. Kalau tidak terkoordinasi dengan baik, terutama dalam pemahaman perbedaan ketentuan, penerapan KUHP pada Januari 2026 bisa kacau balau,” pungkas Maruarar