Sabtu 01 Nov 2025 23:43 WIB

Petani Sawit Bersertifikat RSPO Sulit Menjual Kredit: SPKS Minta Perubahan Sistem Pasar

Petani sawit telah berinvestasi sumber daya yang besar.

Ilustrasi petani memanen sawit.
Foto: Erdy Nasrul/Republika
Ilustrasi petani memanen sawit.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menyuarakan keprihatinan atas kendala yang dialami anggotanya dalam mengakses manfaat ekonomi dari sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Meskipun petani sawit mandiri telah berhasil memperoleh sertifikat, mereka kesulitan dalam menjual kredit keberlanjutan sehingga menghambat realisasi insentif bagi mereka.

“Sebagai contoh, Koperasi Produsen Perkebunan Persada Engkersik Lestari di Kalimantan Barat anggota dari SPKS, yang telah bersertifikasi RSPO sejak 2024, meski berstatus pembeli kredit RSPO tapi belum dapat menjual kredit yang dimilikinya sampai dengan berakhirnya masa sertifikatnya,” ujar Ketua Umum SPKS, Sabarudin di Jakarta, Sabtu (1/11).

Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Baca Juga

Sabarudin menyampaikan bahwa masalah ini adalah isu mendesak yang memerlukan perhatian serius dari para pemangku kepentingan utamanya pihak RSPO.

Sebab menurutnya petani telah berinvestasi sumber daya dan biaya yang cukup besar untuk mencapai standar keberlanjutan RSPO.

“Kami merasa kecewa ketika upaya tersebut tidak dapat ditindaklanjuti dengan manfaat ekonomi yang dijanjikan melalui penjualan kredit," ujar Sabarudin.

Hal ini menurutnya menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas sistem kredit seperti yang disampaikan oleh RSPO selama ini.

“Terutama mengingat RSPO selalu menekankan bahwa skema kredit ini tidak bermasalah bagi petani. Selain itu kami juga melihat sekretariat RSPO sangat lamban dalam memfasilitasi pembeli kredit dan petani sawit atau tidak bisa memastikan pembeli kredit RSPO petani sawit. Serta terkesan hanya memprioritaskan kelompok-kelompok tertentu,” tambahnya.

Sabarudin menekankan bahwa jika situasi ini berlanjut, petani sawit kecil berpotensi kehilangan dorongan untuk berkomitmen pada produksi Minyak Sawit Berkelanjutan melalui Bersertifikat RSPO. Menurut SPKS, kondisi saat ini berisiko membuat sistem sertifikasi RSPO terkesan lebih menguntungkan perusahaan besar yang memiliki jalur rantai pasok langsung.

"Kendala ini dapat mengurangi manfaat ekonomi yang seharusnya diterima petani kecil atas komitmen mereka terhadap keberlanjutan. Dalam jangka panjang, ini dapat menghambat upaya kita bersama untuk menciptakan inklusivitas dalam sektor sawit berkelanjutan di Indonesia," tambah Sabarudin.

Menyikapi hal ini, SPKS minta agar konferensi RSPO di Kuala Lumpur pada tanggal 3-5 November 2025 dapat memberikan ruang khusus untuk membahas dan meninjau ulang mekanisme penjualan kredit RSPO bagi petani sawit mandiri.

"Kami mengimbau forum RSPO untuk segera meninjau kendala yang dialami petani sawit di lapangan. Kami berharap ada dialog konstruktif dan solusi yang dapat menjamin kredit petani sawit yang telah bersertifikasi dapat terserap secara efektif dan adil oleh pasar global," tutup Sabarudin, menyerukan perubahan sistem demi dukungan yang lebih baik bagi petani kecil.

RSPO adalah sistem sertifikasi global yang bertujuan menjamin produksi dan pasokan minyak sawit yang berkelanjutan. Sertifikasi ini memastikan praktik perkebunan yang bertanggung jawab, termasuk menghindari deforestasi dan melindungi hak-hak pekerja. Organisasi ini melibatkan produsen, pengolah, pedagang, hingga pengguna akhir minyak sawit.

SPKS juga sebagai anggota RSPO tetap berkomitmen untuk mendorong anggotanya masuk dalam sertifikasi RSPO.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement